Laman

Selasa, 22 November 2011

Jenis-Jenis Makna II


JENIS-JENIS MAKNA II
A.    Makna Sempit dan Makna Luas
Kridalaksana (1993), memberikan penjelasan bahwa makna sempit (specialized meaning, narrowed meaning) adalah makna ujaran yang lebih sempit daripada makna pusatnya. Makna sempit adalah kata-kata yang bermakna khusus atau kata-kata yang bermakna luas dengan unsur pembatas. Makna kitab “buku” merupakan makna sempit. Kitab yang berarti “buku” itu tidak lagi “sembarang buku”. Sekarang kata kitab lebih bermakna “buku suci” seperti yang tampak dalam pemakaian kitab Al-Qur’an, kitab Injil, kitab Zabur dan seterusnya.
Makna luas (qidened meaning atau extended meaning) adalah makna yang terkandung pada sebuah kata lebih luas dari yang diperkirakan. Contohnya kata saudara, yang tidak hanya bermakna “saudara satu bapak/ibu”, tetapi juga “orang lain yang tidak ada hubungan darah”. Suatu kata yang asalnya memiliki makna luas (genetik) dapat menjadi memiliki makna sempit (spesifik). Kata taqwa itu dalam arti luas adalah “berserah diri kepada Allah” dan dalam arti sempit adalah “menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya”.
B.     Makna Emotif dan Makna Kognitif
Makna emotif menurut Sipley (dalam Mansoer Pateda, 2001:101) adalah makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara atau sikap pembicara mengenai atau terhadap sesuatu yang dipikirkan atau dirasakan. Dicontohkan dengan kata kerbau dalam kalimat Engkau kerbau., kata itu tentunya menimbulkan perasaan tidak enak bagi pendengar. Dengan kata lain, kata kerbau tadi mengandung makna emosi. Kata kerbau dihubungkan dengan sikap atau perilaku malas, lamban, dan dianggap sebagai penghinaan. Orang yang dituju atau tentunya akan merasa tersinggung dan ingin melawan.
Makna kognitif (deskriptif atau denotatif) adalah makna yang ditunjukkan oleh acuannya, makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa, objek atau gagasan, dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponenya (Mansoer Pateda, 2001:109). Kata pohon bermakna tumbuhan yang memiliki batang dan daun dengan bentuk yang tinggi besar dan kokoh. Makna kognitif tidak hanya dimiliki kata-kata yang menunjuk benda-benda nyata, tetapi mengacu pula pada bentuk-bentuk yang makna kognitifnya khusus dan termasuk pula partikel yang memiliki makna relasional.
C.    Makna Idiomatikal dan Makna Peribahasa
Makna idiomatikal adalah makna leksikal terbentuk dari beberapa kata. Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh menjual gigi bermakna ‘tertawa dengan keras’, membanting tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja hijau dengan makna ’pengadilan’.
Sebagian idiom merupakan bentuk beku (tidak berubah), artinya kombinasi kata-kata dalam bentuk tetap. Contoh: selaras dengan, insaf akan, berbicara tentang, terlihat bahwa kata tugas dengan, akan, tentang, dengan kata-kata yang digabungkannya merupakan ungkapan tetap. Jadi, tidak tepat jika diubah atau digantikan, misalnya menjadi, selaras tentang, insaf dengan, berbicara akan.

Jenis-Jenis Makna I

JENIS-JENIS MAKNA I
A.    Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Makna leksikal dapat diartikan dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna-makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.
Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Baik kata dasar maupun kata jadian, sering sangat tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi maka makna gramatikal sering juga disebut makna kontekstual atau makna situasional, bisa juga disebut makna struktural karena proses dan satuan-satuan gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur ketatabahasaan.
B.     Makna Referensial dan Makna Nonreferensial
Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen  maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial, seperti preposisi dan konjungsi. Kata-kata yang referennya tidak tetap, dapat berpindah dari satu rujukan kepada rujukan, atau juga dapat berubah ukurannya disebut kata-kata deiktis, misalnya kata ganti persona.    
C.    Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, naik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotatif, tetapi disebut berkonotasi netral. Makna denotatif (makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif) sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi makna denotatif menyangkut informasi-informasi faktual objektif (makna sebenarnya). Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut.  
D.    Makna Kata dan Makna Istilah
Makna sebuah kata , walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan di dalam suatu kalimat. Jika lepas dari suatu kalimat, maka kata itu menjadi umum dan kabur. Makna istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Ketetapan dan kepastian makna istilah itu karena istilah itu hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. 
E.     Contoh-Contoh
1.      Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik melahirkan makna gramatikal ‘dapat’.
2.      Makna Referensial dan Makna Nonreferensial
Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai rferen, yaitu sejenis perabot rumah tangga. Sebaliknya, kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen, jadi termasuk kata yang bermakna nonferensial.
3.      Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Kata perempuan dan wanita, keduanya mempunyai makna denotasi yang sama, yaitu manusia dewasa bukan laki-laki. Selain itu, ada kata betina yang memiliki makna denotasi yang sama dengan dua kata sebelumnya, tetapi memiliki makna konotasi yang jauh lebih rendah lagi karena biasanya berkenaan dengan binatang.
4.      Makna Kata dan Makna Istilah
Kata tahanan, makna kata tersebut mungkin saja ‘orang yang ditahan’, tetapi bisa juga ‘hasil perbuatan menahan’ atau mungkin makna yang lainnya lagi. Hal itu bisa saja terjadi karena kata itu lepas dari konteks kalimatnya. Sebagai istilah kata tahanan dalam bidang hukum sudah pasti, yaitu orang yang ditahan sehubungan dengan suatu perkara.

Jumat, 18 November 2011

Pragmatik


BATASAN DAN LATAR BELAKANG
(LANJUTAN)
A.     Keteraturan
Orang cenderung bertingkah laku dengan cara-cara yang teratur ketika harus menggunakan bahasa. Sebagian dari keteraturan ini berasal dari kenyataan bahwa manusia adalah anggota kelompok sosial dan mengikuti pola-pola tingkah laku umum yang diharapkan dalam kelompok itu. Di dalam suatu kelompok sosial yang akrab, biasanya kita akan mudah untuk berlaku sopan dan mengatakan sesuatu. Sebaliknya, di dalam suasana lingkungan sosial baru yang belum akrab, kadang-kadang kita tidak yakin tentang apa yang dikatakan dan kita khawatir jangan-jangan kita mengatakan sesuatu yang salah.   
Sumber keteraturan lain dalam penggunaan bahasa berasal dari kenyataan bahwa kebanyakan orang-orang di dalam suatu masyarakat linguistik memiliki pengalaman-pengalaman dasar yang sama tentang dunia dan saling memberikan banyak pengetahuan non-linguistik.
B.     Keranjang Sampah Pragmatik
Dengan menempatkan penemuan ciri-ciri bahasa yang abstrak, secara potensial universal, di atas tengah meja kerja mereka, para ahli bahasa dan filsafat bahasa cenderung untuk menyingkirkan catatan apa saja yang mereka temukan tentang pemakaian bahasa setiap hari ke tepian meja. Ketika meja-meja itu mulai penuh, banyak catatan-catatan tentang pemakaian bahasa umum itu mulai diturunkan dan berakhir di keranjang sampah. Isi keranjang sampah itu semula tidak ditata di bawah satu kategori tunggal. Isi tersebut didefinisikan secara negatif, sebagai bahan yang tidak dengan mudah ditangani dalam sistem-sistem analisis resmi. Akibatnya, untuk memahami sebagian bahan yang akan kita ambil dari keranjang sampah itu, kita harus betul-betul melihat bagaimana bahan itu berada di sana.
Pertimbangkan kalimat berikut;
(1)   The duck run up to Mary and licked her
(Itik itu mendekati Mary dan menyeruduknya)
Semantik berkenaan dengan kondisi nyata dari proposisi yang dinyatakan dalam kalimat. Proposisi ini biasanya berhubungan dengan arti harfiah dasar dari suatu klausa sederhana dan disajikan secara konvensional oleh huruf; p, q, dan r. Bolehlah dikatakan bahwa hubungan makna yang mendasari apa yang diungkapkan dalam ‘the duck ran up to Mary’ adalah proposisi p, dan dalam ‘the duck licked Mary’, hubungan makna yang mendasari adalah proposisi q. kedua proposisi ini digabungkan dengan simbol penghubung yang logis untuk kata hubung ‘&’ (disebut ‘ampersand). Jadi, penyajian proposisional dari (1) adalah seperti (2).
(2). p & q.
 Jika p betul dan q betul, maka p & q betul. Jika salah satu dari p atau q tidak betul (atau salah), maka kata penghubung p & q pasti salah. Tipe analisis ini digunakan secara intensif dalam semantik formal.
Perhatikan bahwa p & q dalam kasus khusus harus diungkapkan seperti (3)
(3)   The duck licked Mary and ran up to her.
(Itik itu menyeruduk Mary dan mendekatinya).
Dalam dunia pemakaian bahasa sehari-hari, pernyataan hubungan ini tidak identik dengan situasi nyata yang dijelaskan (1). Ada tata urutan dari dua kejadian yang sedang dijelaskan dan kita mengharapkan bahwa tata aturan, pada saat kejadian, dicerminkan dalam urutan penyebutan.
Jika p melibatkan beberapa tindakan  dan q melibatkan tindakan lain (beda), kita memiliki kecenderungan kuat untuk mengartikan kata penghubung “dan”, tidak selogis &, tetapi seperti ungkapan urutan ‘dan kemudian’. Mungkin kita mengemukakan bahwa ada prinsip penggunaan bahasa yang teratur seperti yang dapat dinyatakan (4).
(4)   Interpret order of mention as a reflection of order of occurance.
(urutan penyebutan sebagai cermin dari urutan kejadian).
Apa yang diungkapkan (4) bukan kaidah sintak atau semantik. Yang diungkapkan itu sama sekali bukan kaidah. Yang diungkapkan itu adalah suatu prinsip pragmatik yang sering kita pakai untuk memahami apa yang kita dengar dan baca, tetapi prinsip pragmatik itu bisa kita kesampingkan jika prinsip pragmatik itu tidak cocok dalam beberapa situasi.    
C.     Sejarah Perkembangan Pragmatik
Pragmatik telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika sejak tahun 1970-an. Morris (1938) dianggap sebagai peletak tonggaknya lewat pandangannya tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang: sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kemudian Halliday (1960) yang berusaha mengembangkan teori sosial mengenai bahasa yang memandang bahasa sebagai fenomena sosial.
Di Amerika, karya filsuf Austin (1962) dan muridnya Searle (1969, 1975), banyak mengilhami perkembangan pragmatik. Karya Austin yang dianggap sebagai perintis pragmatik berjudul How to Do Things with Words (1962). Dalam karya tersebut, Austin mengemukakan gagasannya mengenai tuturan performatif dan konstatif. Gagasan penting lainnya adalah tentang tindak lokusi, ilokusi, perlokusi, dan daya ilokusi tuturan.
Beberapa pemikir pragmatik lainnya, yaitu:
Searle (1969) mengembangkan pemikiran Austin. Ia mencetuskan teori tentang tindak tutur yang dianggap sangat penting dalam kajian pragmatik. Tindak tutur itu dikategorisasikan berdasarkan makna dan fungsinya menjadi lima macam, yaitu: representatif, direktif, ekspresif, komisih, dan deklaratif.
Grice (1975) mencetuskan teori tentang prinsip kerja sama (cooperative principle) dan implikatur percakapan (conversational implicature). Prinsip ini terdiri atas empat bidal: kuantitas, kualitas, relasi, dan cara. Menurut Gunarwan (1994: 54). Keenan (1976) menyimpulkan bahwa bidal kuantitas, yaitu “buatlah sumbangan Anda seinformatif-informatifnya sesuai dengan yang diperlukan”.
Goody (1978) menemukan bahwa pertanyaan tidak hanya terbatas digunakan untuk meminta informasi, melainkan juga untuk menyuruh, menandai hubungan antarpelaku percakapan, menyatakan dan mempertanyakan status.
Fraser (1978) telah melakukan deskripsi ulang tentang jenis tindak tutur. Gadzar (1979) membicarakan bidang pragmatik dengan tekanan pada tiga topik, yaitu: implikatur, praanggapan, dan bentuk logis.
Gumperz (1982) mengembangkan teori implikatur Grizer dalam bukunya Discourse Strategies. Ia berpendapat bahwa pelanggaran atas prinsip kerja sama seperti pelanggaran bidal kuantitas dan cara menyiratkan sesuatu yang tidak dikatakan. Sesuatu yang tidak diekspresikan itulah yang dinamakan implikatur percakapan. Levinson (1983) mengemukakan revisi sebagai uapaya penyempurnaan pendapat Grize tentang teori implikatur.
Leech (1983) mengemukakan gagasannya tentang prinsip kesantunan dengan kaidah yang dirumuskannya ke dalam enam bidal: ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian.
Mey (1993) mengemukakan gagasan baru tentang pembagian pragmatik: mikropragmatik dan makropragmatik. Schiffrin (1994) mambahas berbagai kemudian kajian wacana dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Yule (1996) mengembangkan teori tentang PKS dengan menghubungkannya dengan keberadaan tamengan (hedges) dan tuturan langsung-tuturan tak langsung.
van Dijk (1998-2000) mengembangkan model analisis wacana kritis (Critical Discourse Analyses/ CDA) di dalam teks berita. Ia mengidentifikasi adanya lima karakteristik yang harus dipertimbangkan di dalam CDA, yaitu: tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi.
Perkembangan Pragmatik di Indonesia
Istilah pragmatik secara nyata di Indonesia muncul pada 1984 ketika diberlakukannya Kurikulum Sekulah Menengah Atas tahun 1984. Dalam kurikulum ini pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan bidang studi bahasa Indonesia (Depdikbud, 1984).
Beberapa karya mengenai pragmatik mulai bermunculan. Diawali oleh Tarigan (1986) yang membahas tentang pragmatik secra umum. Nababan (1987) dan Suyono (1990) juga masih terkesan „memperkenalkan pragmatik“, sebab belum membahas pragmatik secara rinci dan luas. Pada karya Tallei (1988), Lubis (1993), dan Ibrahim (1993) tampak deskripsi yang agak mendalam, tetapi orisinalitas gagasanya agak diragukan karena, terutama pada karya Tallei, hampir sepenuhnya mengacu pada buku Discourse Analyses karya Stubbs (1983). Buku pragmatik pertama yang tergolong kritis adalah karya Bambang Kaswanti Purwo (1990) dengan judul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Karya Wijana (1996) yang berjudul Dasar-dasar Pragmatik sudah menuju ke arah pragmatik yang lebih lengkap dan mendalam.
Beberapa penelitian pun telah dilakukan dalam rangka disertasi, di antaranya adalah Kaswanti Purwo (1984), Rofiudin (1994), Gunarwan (1992-1995), Rustono (1998), dan terakhir Saifullah (2001) dalam tesis magisternya.



Ruang Lingkup Semantik


RUANG LINGKUP SEMANTIK
Beberapa jenis semantik yang dibedakan berdasarkan tataran atau bagian dari bahasa itu yang menjadi objek penyalidikannya
A.     Semantik Leksikal
Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vocabulary, kosakata, pembendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan kata yang bemakna (Chaer, 2002: 60). Kalau leksikon disamakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat disamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan dengan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Makna leksikal dapat juga  diartikan makna yang sesuai dengan acuannya, makna yang sesuai dengan hasil observasi panca indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Beberapa ahli menegaskan demikian, The noun ‘lexeme’ is of course related to the words ‘lexical’ and ‘lexicon’, (we can think of ‘lexicon’ as having the same meaning as vocabulary or dictionary ( Lyons, 1995:47). Dalam semantik leksikal diselidiki makna yang ada pada leksem-leksem dari bahasa tersebut. Oleh karena itu, makna yang ada pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal. Leksem adalah istilah-istilah yang lazim digunakan dalam studi semantik untuk menyebutkan satuan bahasa bermakna. Istilah leksem ini kurang lebih dapat dipadankan dengan istilah kata yang lazim digunakan dalam studi morfologi dan sintaksis dan yang lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal bebas terkecil. Leksem dapat berupa kata, dapat juga berupa gabungan kata. Kumpulan dari leksem suatu bahasa disebut leksikon, sedangkan kumpulan kata-kata dari suatu bahasa disebut leksikon atau kosa kata.
Kajian makna bahasa yang lebih memusatkan pada peran unsur bahasa atau kata dalam kaitannya dengan kata lain dalam suatu bahasa lazim disebut sebagai semantik leksikal.
B.     Semantik Gramatikal
Tataran tata bahasa atau gramatika dibagi menjadi dua subtataran, yaitu morfologi dan sintaksis. Morfologi adalah cabang dari linguistik yang mempelajari struktur intern kata, serta proses-proses pembentukannya; sedangkan sintaksis adalah studi mengenai hubungan kata dengan kata dalam membentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat. Satuan-satuan morfologi, yaitu morfem dan kata, maupun satuan sintaksis yaitu kata, frase, klausa, dan kalimat, jelas ada maknanya. Baik proses morfologi dan proses sintaksis itu sendiri juga makna. Oleh karena itu, pada tataran ini ada masalah-masalah semantik yaitu yang disebut semantik gramatikal karena objek studinya adalah makna-makna gramatikal dari tataran tersebut.  
C.     Semantik Kalimat
Verhaar (1978: 126) mengutarakan semantik kalimat yang membicarakan hal-hal seperti soal topikalisasi kalimat yang merupakan masalah semantik, namun bukan masalah ketatabahasaan. tentang semantik kalimat ini menurut beliau memang masih belum banyak menarik perhatian para ahli linguistik.