SAHABATKU
Saat siang berubah menjadi malam
Itu bukan pikiranku.
Tapi, saat kau pergi dari hidupku
Itu adalah hal terburuk dalam hidupku.
Andai kudapat mengulang waktu
Tak ingin sekali pun Aku menyakitimu.
Andai kudapat mengulang waktu
Kan kucegah engkau untuk pergi.
Sahabatku!
Begitu besarkah kesalahanku?
Hingga kau pergi meninggalkanku
Tak adakah kata maaf untukku?
Sahabatku!
Tanpamu, Aku tiada berdaya
Aku hanya dapat berharap dan terus berharap
Kuharapkan darimu untukku maaf
Dan, doa untukmu
yang terbaik dariku.
BUMIKU TELAH MURKA
Tiada henti kuterkagum
Akan indahnya bumi ini
Yang senantiasa menampakkan pesonanya
Di setiap mata para makhluk.
Tapi kini,
Aku mencari, dimana keindahan itu?
Dimana pesona alam yang dulu sering tampak?
Ku mencoba menatap ke segala arah
Oh… Sungguh ku kecewa
Aku tak dapat melihatnya lagi.
Semua telah sirna
Hilang harapan akan keindahannya,
Alam yang indah telah hancur
Bumiku telah murka!
Bumi yang selama ini mengasuh manusia,
Bumi yang selama ini menaungi manusia,
Tidak lagi menunjukkan kasihnya,
Tidak lagi bersahabat dengan kita.
Kuiri melihat matahari yang terus setia mendampingi siang,
Melihat bulan yang terus setia mendampingi malam.
Tapi, mengapa manusia tak dapat setia menjaga alam ini?
Sebagaimana tugas kita dari sang Pencipta.
Tangan-tangan jahil yang merajalela
Membuat semuanya hancur.
Dengan pemikiran yang singkat
Mereka hancurkan keindahan bumi ini.
Sungguh ironis!
Bencana pun datang silih berganti
Kehancuran terus terjadi
Inilah imbalan yang kita dapat.
Senyuman indah yang menghias di bibir
Kini berubah menjadi deraian airmata.
Apalah daya perbuatan jahil
Menjadi imbalan bagi yang tak bersalah.
Bumiku telah murka!
ANALISIS PENYIMPANGAN BAHASA DALAM PUISI
LILIN
KECILKU
Lilin
kecilku
Di tengah kegelapan
Kau memberiku sepercik cahya
Hingga segala hal di sekitarku
Nampak oleh cahyamu
Perlahan ketakutan ini mulai sirna
Karena cahyamu yang terus menemani
Dalam segala hal kau mendampingiku
Menunjukkanku jalan yang harus kutempuh
Namun, perlahan kau mulai meredup
meredup, meredup, dan terus meredup!
Kemudian menghilang
Hanya meninggalkan tanda
Tanda, bahwa pernah kau ada di
sampingku.
Sahabat, kau bagai lilin kecil
Kau telah hadir dalam hidupku
Walau hanya sejenak
Mencari jalan kau telah menuntunku
Dan
menemukan arah hidupku.
Analisis:
Pada puisi yang
berjudul “Lilin Kecilku” terdapat beberapa penyimpangan, antara lain
penyimpangan leksikal, penyimpangan semantik dan penyimpangan sintaksis.
Penyimpangan leksikal yang terdapat dalam puisi ini terlihat pada kata cahya yang terletak pada baris ketiga
dan kelima bait pertama dan baris kedua pada bait kedua. Kata cahya ini berasal dari kata cahaya. Kata cahya tidak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak ada
dalam kamus besar bahasa Indonesia.
Namun, dalam puisi ini kata cahya
digunakan untuk menyesuaikan keindahan puisi tersebut.
Penyimpangan semantik
dalam puisi tersebut terlihat pada frase lilin
kecil. Makna frase lilin kecil
bukanlah “lilin yang kecil sebenarnya” sebagaimana makna denotasinya. Namun,
dalam puisi ini frase lilin kecil
memiliki makna konotasi yakni sahabat.
Jadi, frase lilin kecil merupakan
konotasi dari sahabat. Penyair
mengandaikan bahwa lilin kecil tersebut layaknya sahabat yang hadir dalam
hidupnya hanya sejenak, sebagaimana lilin kecil yang memberikan cahayanya dalam
kegelapan, begitu pula sahabat yang memberikannya petunjuk namun kehadirannya
hanya sejenak. Selain itu, terdapat pula kata kegelapan, kata ini dalam puisi tersebut tidaklah bermakna sesuai
dengan makna denotasinya bahwa “keadaan yang gelap tanpa cahaya atau tanpa
warna sedikitpun”. Kata kegelapan ini
memiliki makna konotasi bingung, bimbang,
ragu. Jadi, kata kegelapan ini
menunjukkan suatu perasaan bingung, bimbang, atau ragu dalam menentukan
keputusan. Ada pula kata cahya yang
juga memiliki makna konotasi bahwa “adanya petunjuk untuk mengambil keputusan”,
yang pada dasarnya memiliki makna “sinar atau terang yang memungkinkan untuk
melihat suatu benda”.
Penyimpangan sintaksis
dalam puisi tersebut terlihat pada kalimat “dalam segala hal kau mendampingiku”
kalimat ini memiliki pola (O/S/P), ini menyalahi aturan sintaksis , jika
menggunakan kaidah bahasa yang benar maka kalimat tersebut seharusnya “Kau
mendampingiku dalam segala hal” (S/P/O).
Begitu pula pada kalimat “mencari jalan kau telah menuntunku” seharusnya
“Kau telah menuntunku mencari jalan”.
SAHABATKU
Saat siang berubah menjadi malam
Itu bukan pikiranku.
Tapi, saat kau pergi dari hidupku
Itu adalah hal terburuk dalam hidupku.
Andai kudapat mengulang waktu
Tak ingin sekali pun Aku menyakitimu.
Andai kudapat mengulang waktu
Kan kucegah engkau untuk pergi.
Sahabatku!
Begitu besarkah kesalahanku?
Hingga kau pergi meninggalkanku
Tak adakah kata maaf untukku?
Sahabatku!
Tanpamu, Aku tiada berdaya
Aku hanya dapat berharap dan terus berharap
Kuharapkan darimu untukku maaf
Dan, doa untukmu
yang terbaik dariku.
Analisis:
Dalam puisi tersebut
terdapat penyimpangan fonologis dan penyimpangan sintaksis. Penyimpangan
fonologis dalam puisi tersebut terlihat pada kata kan yang terdapat baris keempat bait kedua. Kata kan berasal dari kata akan, terdapat penghilangan satu huruf
di awal kata yakni huruf ‘a’. Penyimpangan sintaksis dalam puisi ini terlihat
pada kalimat “tak ingin sekali pun Aku menyakitimu” sebaiknya “Aku tak ingin
sekali pun menyakitimu”. Kalimat selanjutnya “tanpamu, aku tiada berdaya” yang
berpola O/S/P seharusnya “Aku tiada berdaya tanpamu” yang berpola S/P/O. Kalimat
“kuharapkan darimu untukku maaf” (P/S/O/Pel) seharusnya “darimu kuharapkan maaf
untukku” (S/P/Pel/O). Selain itu, kalimat “doa untukmu yang terbaik dariku”
seharusnya “dariku yang terbaik doa untukmu”.
LATAR
BELAKANG SUBAGIO SASTROWARDOYO
Latar Belakang Keluarga:
Subagio Sastrowardoyo dilahirkan di Madiun
(Jawa Timur) tanggal 1 Februari 1924. Ayahnya seorang pensiunan Wedana Distrik
Uteran, Madiun, yang bernama Sutejo dan ibunya bernama Soejati. Subagio menikah
dan dikaruniai tiga orang anak. Ia meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 18
Juli 1996 dalam usia 72 tahun.
Pendidikan Subagio dilakukan di berbagai tempat, yaitu HIS di
Bandung dan Jakarta.
Pendidikan HBS, SMP, dan SMA di Yogyakarta. Pada tahun 1958
berhasil menamatkan studinya di Fakultas
Sastra,
Universitas Gadjah Mada dan 1963 meraih gelar master of art (M.A.) dari
Department of Comparative Literature, Universitas Yale, Amerika Serikat.
Latar Belakang Pekerjaan:
Subagio pernah menjabat Ketua Jurusan
Bahasa Indonesia
B-1 di Yogyakarta (1954-1958). Ia juga pernah
mengajar di almamaternya,
Fakultas
Sastra,
UGM pada tahun 1958-1961. Pada 1966-1971 ia
mengajar di
Sekolah Staf Komando
Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung . Selanjutnya, tahun 1971-1974
mengajar di Salisbury
Teacherrs College, Australia Selatan, dan di Universitas Flinders, Australia
Selatan tahun 1974-1981. Sebagai anggota Kelompok Kerja
Sosial Budaya Lemhanas
dan Direktur Muda Penerbitan PN Balai Pustaka (1981). Selain itu, ia juga
pernah bekerja sebagai anggota
Dewan Kesenian Jakarta (1982-1984) dan Pada
musim panas 1984, ia juga pernah menjadi seorang instruktur tamu di
Universitas Ohio, dan
mengajarkan
bahasa Indonesia.
Latar Belakang Kesastraan / Kebahasaan:
Dalam
sastra Indonesia
Subagio Sastrowardoyo lebih dikenal
sebagai
penyair
meskipun tulisannya tidak terbatas pada
puisi. Nama
Subagio Sastrowardoyo dicatat pertama kali
dalam peta perpuisian Indonesia ketika kumpulan puisinya Simphoni terbit tahun
1957 di Yogyakarta. Tentang kepenyairannya itu, Goenawan Mohamad mengatakan
bahwa sajak-sajak Subagio adalah sajak rendah. Puisinya seolah-olah dicatat
dari gumam. Ia ditulis oleh seorang yang tidak memberi aksentuasi pada gerak,
pada suara keras, atau kesibukan di luar dirinya. Ia justru suatu perlawanan
terhadap gerak, suara keras, serta kesibukan di luar sebab
Subagio Sastrowardoyo memilih diam dan
memenangkan diam. Itulah paling tidak sebagian dari karakter kepenyairan
Subagio Sastrowardoyo.
Puisi-puisi Subagio umumnya dipandang mempunyai bobot
filosofis yang tinggi dan mendalam, dan tidak dapat ditafsirkan secara harfiah.
Perumpamaan dan lambang digunakannya secara dewasa dan matang. Sajaknya yang
berjudul
Dan Kematian Makin Akrab memenangkan
Hadiah
Horison untuk
sajak-sajak yang dimuat
tahun 1966-1967, dan tahun 1970 mendapatkan Anugerah Seni dari Pemerintah RI
untuk kumpulan sajaknya
Daerah Perbatasan (
1970).
Kreatifitas
Subagio Sastrowardoyo tidak terbatas
sebagai
penyair.
Oleh karena itu, ia tidak saja dikenal sebagai
penyair, tetapi sekaligus
sebagai esais, kritikus
sastra, dan
cerpenis. Ajip Rosidi yang menggolongkannya ke dalam pengarang
periode 1953—1961 menyatakan bahwa selain sebagai
penyair, Subagio juga
penting dengan prosa dan
esai-esainya.
Cerpennya yang berjudul Kejantanan di Sumbing pernah
mendapatkan hadiah sebagai cerpen terbaik. Dalam cerpen dan sajak-sajaknya,
banyak dilukiskan manusia yang gampang dirangsang oleh nafsunya.
Manusia-manusia Subagio adalah manusia-manusia yang dalam mencoba
mempertahankan kewajiban tergoda oleh sifat-sifat kedagingannya.
Karya-karya Subagio Sastrowardoyo yang telah ditulisnya
beragam dan banyak, seperti berikut ini:
1. Simphoni
(1957)
2. Daerah
Perbatasan (1970)3
3. Keroncong
Motinggo (1975)
5. Hari
dan Hara (1982)
6. Simponi
Dua (1989)
1. Bakat
Alam dan Intelektualitas (1972)
2. Manusia
Terasing di Balik Simbolisme Sitor (1976)
3. Sosok
Pribadi dalam Sajak (1980)
4. Sastra Hindia
Belanda dan Kita (1983)
5. Pengarang
Modern sebagai Manusia Perbatasan (1989)
7. Modern
Asean Plays Indonesia (di dalamnya dimuat drama “The Bottomless Well”, “Wow”,
“Time Bomb”, dan “Dhemit”) (1992)
8. Anthology
of Asean Literatures: Volume III a: The Islamic Period in Indonesian Literature
(1994)
Tulisan
Subagio yang berupa
cerpen terkumpul dalam sebuah kumpulan
cerpen,
yaitu Kedjantanan di Sumbing (1965). Selain itu, ia juga menerima hadiah dan
penghargaan atas kreatifitasnya itu. Hadiah dan Penghargaan yang diterima:
2. Hadiah
Pertama dari majalah Kisah (1995) untuk cerpennya “Kedjantanan di Sumbing”.
3. Hadiah
dari majalah Horison untuk puisinya “Dan
Kematian pun Semakin
Akrab” yang dimuat dalam majalah itu tahun 1966/1967
4. Anugerah
Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970) untuk kumpulan puisinya Daerah
Perbatasan
5. Penghargaan
South East Asia Write
Award
(SEA Write
Award)
dari Kerajaan Thailand pada tahun 1991 untuk kumpulan puisinya Simponi Dua