Laman

Sabtu, 24 Maret 2012

Teori Sapir-Whorf


TEORI SAPIR-WHORF
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu di dalamnya, yaitu segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu, memahami bahasa akan memungkinkan untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak dimana objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya.
Seorang filosof, H.G. Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Ludwid van Wittgenstein mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka.
Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran dinyatakan oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Sapir dan Whorf melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia. Sapir dan Whorf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
1.      Hipotesis pertama adalah linguistic relativity hypothesis (hipotesis relativitas bahasa) yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa. Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
2.      Hipotesis kedua adalah linguistic determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Edward Sapir (1884-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut Sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama.
Setiap bahasa dari satu masyarakat telah “mendirikan” satu dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu. Jadi, berapa banyaknya masyarakat manusia di dunia ini adalah sama banyaknya dengan jumlah bahasa yang ada di dunia ini. Dengan tegas Sapir juga menyatakan apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami, dan kita perbuat sekarang ini adalah karena sifat-sifat (tabiat-tabiat) bahasa kita telah menggariskannya terlebih dahhulu.
Benjamin Lee Whorf (1897-1941), murid Sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Pandangan klasik juga mengatakan meskipun setiap bahasa mempunyai bunyi-bunyi yang berbeda-beda, tetapi semuanya menyatakan rumusan-rumusan yang sama yang didasarkan pada pemikiran dan pengamatan yang sama. Dengan demikian semua bahasa itu merupakan cara-cara pernyataan pikiran yang sejajar dan saling dapat diterjemahkan satu sama lain.
Sama halnya dengan Von Humboldt dan Sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh, whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan “kaleng kosong” bekas minyak bisa meledak. Kata kosong digunakan dengan pengertian tidak ada minyak di dalamnya. Padahal sebenarnya ada cukup efek-lepas (after effect) pada kaleng bekas minyak untuk bisa meledak. Jika isi kaleng dibuang, maka kaleng itu akan kosong, tetapi dalam ilmu kimia hal ini tidak selalu benar. Kaleng minyak yang sudah kosong masih bisa meledak kalau terkena panas. Di sinilah, menurut Whorf, tampak jalan pikiran seseorang telah ditentukan bahasanya.
Menurut Whorf selanjutnya sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya merupakan alat untuk mengungkapkan ide-ide, tetapi juga merupakan pembentuk ide-ide itu, merupakan program kegiatan mental seseorang, penentu struktur mental seseorang. Dengan kata lain, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang, bukan kata-kata. Hipotesis Sapir-Whorf tampak lebih memfokuskan pada hubungan antara tata bahasa dan pikiran manusia, bukan kata-kata (Chaer, 2009:53).
Setelah meneliti bahasa Hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat, dengan mendalam, Whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis Whorf (atau juga hipotesis Sapir-Whorf) mengenai relativitas bahasa. Menurut hipotesis itu, bahasa-bahasa yang berbeda “membedah” alam ini dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah satu relativitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada bahasa-bahasa beragam yang digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat.
Hipotesis relativitas linguistik beranggapan bahwa bahasa hanya refleksi dari pikiran yang memunculkan makna. Bahasa memengaruhi pikiran, sehingga muncul ungkapan bahwa bahasa memengaruhi cara berpikir penuturnya. Determinisme linguistik adalah klaim bahwa bahasa menentukan atau sangat memengaruhi cara seseorang berpikir atau mempersepsi dunia. Whorf sangat terkesan oleh kenyataan bahwa masing-masing bahasa menekankan pada perbedaan struktur berdasarkan perbedaan aspek dunia sebagai landasan pembentukan struktur tersebut. dia menyakini bahwa penekanan itu memberi pengaruh cukup besar terhadap cara penutur bahasa berpikir tentang dunia. Whorf meyakini bahwa kehidupan suatu masyarakat dibangun oleh sifat-sifat bahasa yang digunakan anggota masyarakat tersebut.
Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan melalui aspek formal bahasa, misalnya grammar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available to their speakers” (Grammar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut). Selain habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Sapir dan Whorf adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir.
Untuk memperkuat hipotesisnya, Sapir dan Whorf memaparkan beberapa contoh. Salah satu contoh yang diambil adalah kata salju. Whorf mengatakan bahwa sebagian besar manusia memiliki kata yang sama untuk menggambarkan salju. Salju yang baru saja turun dari langit, salju yang sudah mengeras atau salju yang meleleh, semua objek salju tersebut tetap dinamakan salju. Berbeda dengan kebanyakan masyarakat, orang Eskimo memberi label yang berbeda pada objek salju tersebut. Banyak lagi contoh yang lain, misalnya orang Hanunoo di Filipina memiliki kira-kira 92 nama untuk berbagai jenis rice (padi). Orang Arab memiliki beberapa nama untuk camels (unta). Whorf merasa bahwa terminologi/istilah yang sangat beragam tersebut menyebabkan penutur bahasa tersebut mempersepsi dunia secara berbeda-beda dari seorang yang hanya memiliki satu kata untuk satu kategori tertentu. Sapir menolak pandangan yang menyatakan bahwa berpikir dan bahasa merupakan dua entitas berbeda atau berdiri sendiri. Sapir dan Whorf sepakat bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang. Jalan pikiran seseorang sangat ditentukan oleh bahasanya.
Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, dan lain-lain) adalah sama karena bahasa-bahasa mereka mempunyai struktur yang sama. Sedangkan hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain seperti Cina, Jepang, Amerika, Eropa, Afrika, dan lain-lain adalah berlainan karena struktur bahasa mereka berlainan. Untuk memperjelas hal ini Whorf membandingkan kebudayaan Hopi dan kebudayaan Eropa. Kebudayaan Hopi dioraganisasi berdasarkan peristiwa-peristiwa (event), sedangkan kebudayaan Eropa diorganisasi berdasarkan ruang (space) dan waktu (time). Menurut kebudayaan Hopi kalau satu bibit ditanam maka bibit itu akan tumbuh. Jarak waktu yang diperlukan antara masa menanam dan tumbuhnya bibit tidaklah penting. Yang penting adalah peristiwa menanam dan peristiwa tumbuhnya bibit itu. Sedangkan bagi kebudayaan Eropa jangka waktu itulah yang penting. Menurut Whorf, inilah bukti bahwa bahasa mereka telah menggariskan realitas hidup dengan cara-cara yang berlainan.
Untuk menunjukkan bahwa bahasa menuntun jalan pikiran manusia, Whorf menunjukkan contoh lain. Kalimat see that wave dalam bahasa Inggris mempunyai pola yang sama dengan kalimat see that house. Dalam see that house kita memang bisa melihat sebuah rumah, tetapi dalam kalimat see that wave menurut Whorf belum ada seorang pun yang melihat satu ombak. Jadi, di sini kita seolah-olah melihat satu ombak karena bahasa telah menggambarkan begitu kepada kita. ini adalah satu kepalsuan fakta yang disuguhkan oleh satu organisasi hidup seperti ini; dan kita tidak sadar bahwa pandangan hidup kita telah dikungkung oleh ikatan-ikatan yang sebenarnya dapat ditanggalkan.
Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial. Walaupun bahasa biasanya tidak diminati oleh ilmuan sosial, bahasa secara kuat mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan bagi masyarakatnya. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentang dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yang masuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula.

Rujukan:
Anonim1. 2011. Pemikiran Linguistik Edward Sapir. http.//travelogmunsyi.wordpress.com/2011/03/15/pemikiran-linguistik-Edward-Sapir/. Diunduh pada tanggal 3 Maret 2012.
Arifuddin. 2010. Neorupsikolinguistik. Jakarta: Raha Grafindo Persada.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Mahmudah. 2012. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Makassar: Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar.
Widhiarso, Wahyu. 2005. Pengaruh Bahasa terhadap Pikiran. http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/files/hubungan_antara_bahasa_dan_pikiran.pdf. Diunduh pada tanggal 3 Maret 2012.