Laman

Selasa, 20 November 2012

Puisi


CINTA

Cinta itu egois, sayangku.
Cinta itu tak akan mau berbagi
Cinta itu dapat berubah menjadi jahat
Cinta itu akan menyuruhmu berdusta dan berkhianat
Cinta itu membuatmu melepas hal terbaik dalam hidupmu.

Kau akan memasang taruhan besar atas nama cinta
Kau akan merenggut kebahagiaan orang lain karena cinta
Kau akan buta dan tuli karena cinta
Kau akan menjadi tidak peka karena cinta.

Kau pikir, kau akan bahagia selamanya dengan cinta itu?
Ingatlah, tak pernah ada yang abadi di dunia ini!
Tidak akan pernah ada!
Begitu pula dengan cinta.

Sebelum sempat kau tersadar
Semua yang kau miliki akan menghilang
Sebelum kau berhasil mencegah
Semua yang kau genggam akan terlepas
Kau pun akan terpuruk sendiri
Menangisi cinta yang akhirnya meninggalkanmu.

KUDA TROYA DI HATIKU

Aku terus berusaha melawan
Melawan semua rasa yang membuatku sakit.
Aku tak akan membiarkan diriku jatuh cinta
Pada seseorang yang tak bisa kumiliki.

Kau adalah musuh bagi hatiku yang lemah
Hingga aku membentengi diri ini agar tak terpikat oleh pesonamu.
Tapi kau tetap saja memaksa masuk
Kau bagai kuda troya yang sukses menyelusup ke ruang hatiku.

Aku memang bertekad untuk menjauhimu
Tapi, jantung ini tak cukup kuat
Untuk membendung setiap debaran yang tercipta karena dirimu
Aku terlanjur terjun ke dalam api cintamu
Terbakar bersama cinta
Yang telah membumihanguskan kebahagiaanku




Rabu, 14 November 2012

Analisis Puisi dan Penyair


Analisis penggunaan diksi pada puisi-puisi penyair.
Analisis hubungan antara puisi yang satu dengan puisi lainnya setiap penyair.

1.      Amir Hamsah
Judul Puisi : Padamu Jua, Hanyut Aku, Hanya Satu, Doa Poyangku.
Analisis    : Puisi-puisi Amir Hamsah banyak menggunakan diksi atau pilihan kata “kekasihku”. Pada puisi-puisi tersebut kata kekasihku ini bermakna Tuhan atau sesuatu yang begitu dipuja sang penyair. Keempat puisi tersebut saling berkaitan, menggambarkan pengaduan dan pujian pada Tuhan.   
2.      Taufik Ismail
Judul Puisi : Buku Tamu Musium Perjuangan, Gugur dalam Pencegatan Tahun Empat Puluh Delapan, Rindu pada Setelan Jas Putih dan Pantolan Putih Bung Hatta, dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.
Analisiss    : Keempat puisi Taufik Ismail tersebut banyak menggunakan diksi atau pilihan kata “tahun”.  Kata tahun dalam puisi Taufik Ismail digunakan untuk menggambarkan waktu terjadinya peristiwa yang dituliskan dalam puisi tersebut. Puisi-puisi Taufik Ismail tersebut saling berhubungan pada puisi Buku Tamu Musium Perjuangan menceritakan mengenai seorang tamu museum yang menceritakan kesannya pada buku tamu, kemudian pada puisi Gugur dalam Pencegatan Tahun Empat Puluh Delapan menceritakan mengenai cerita kakek penjaga museum yang melihat tamu tersebut. Pada puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia menggambarkan keadaan Negara Indonesia yang sangat memalukan, kemudian pada puisi Rindu pada Setelan Jas Putih dan Pantolan Putih Bung Hatta menggambarkan sebuah curhatan mengenai betapa malunya menjadi orang Indonesia. Jadi, puisi-puisi Taufik Ismail sling berhubungan dan banyak menggambarkan keadaan Negara Indonesia baik pada masa perjuangan maupun setelah kemerdekaan.  
3.      W. S. Rendra
Judul Puisi : Sajak Sebatang Lisong, Sajak Rajawali, Sajak Pertemuan Mahasiswa, dan Surat Cinta.
Analisis     : Puisi-puisi W.S. Rendra banyak menggunakan diksi “langit”. Dalam karya puisinya banyak menggunakan penggambaran alam, seperti langit, burung, matahari, dan lain sebagainya. Karya-karya puisinya menggambarkan keadaan masyarakat, menggambarkan kenyataan hidup masyarakat, selain itu ada juga puisi yang menggambarkan kisah romantis.   
4.      Chairil Anwar
Judul Puisi: Penerimaan, Persetujuan dengan Bung Karno, Prajurit Jaga Malam, dan Senja Di Pelabuhan Kecil.
Analisis: Puisi-puisi Chairil Anwar banyak menggunakan diksi “Aku” yang bermakna bahwa dalam puisi-puisinya tersebut selalu menggambarkan isi hatinya, menggambarkan keadaan dirinya. Antara puisi “Persetujuan dengan Bung Karno” dan puisi “Prajurit Jaga Malam” sama-sama menceritakan mengenai perjuangan pada masa tersebut. Puisi “Penerimaan” dan “Senja Di Pelabuhan Kecil” sama menceritakan mengenai hal romantis yang dirasakan penyair.
5.      Andriani E.
Judul Puisi : Aku Masih Menanti, Sakit Ini, Kuda Troya Di Hatiku, dan Cinta.
Analisis     : Puisi-puisi tersebut banyak menggunakan diksi aku, sayang, hati, cinta. Puisi-puisi tersebut saling berhubungan semuanya menggambarkan perasaan terluka. Dalam puisi tersebut berisikan hal-hal mengenai perasaan penyair yang terus menanti, merasakan sakit hati, dan bagaimana perasaan cinta itu terus masuk ke dalam jiwanya.  

Rabu, 07 November 2012

Apresiasi Puisi Indonesia


SAHABATKU

Saat siang berubah menjadi malam
Itu bukan pikiranku.
Tapi, saat kau pergi dari hidupku
Itu adalah hal terburuk dalam hidupku.

Andai kudapat mengulang waktu
Tak ingin sekali pun Aku menyakitimu.
Andai kudapat mengulang waktu
Kan kucegah engkau untuk pergi.

Sahabatku!
Begitu besarkah kesalahanku?
Hingga kau pergi meninggalkanku
Tak adakah kata maaf untukku?

Sahabatku!
Tanpamu, Aku tiada berdaya
Aku hanya dapat berharap dan terus berharap
Kuharapkan darimu untukku maaf
Dan, doa untukmu yang terbaik dariku.


BUMIKU TELAH MURKA

Tiada henti kuterkagum
Akan indahnya bumi ini
Yang senantiasa menampakkan pesonanya
Di setiap mata para makhluk.

Tapi kini,
Aku mencari, dimana keindahan itu?
Dimana pesona alam yang dulu sering tampak?
Ku mencoba menatap ke segala arah
Oh… Sungguh  ku kecewa
Aku tak dapat melihatnya lagi.

Semua telah sirna
Hilang harapan akan keindahannya,
Alam yang indah telah hancur
Bumiku telah murka!

Bumi yang selama ini mengasuh manusia,
Bumi yang selama ini menaungi manusia,
Tidak lagi menunjukkan kasihnya,
Tidak lagi bersahabat dengan kita.

Kuiri melihat matahari yang terus setia mendampingi siang,
Melihat bulan yang terus setia mendampingi malam.
Tapi, mengapa manusia tak dapat setia menjaga alam ini?
Sebagaimana tugas kita dari sang Pencipta.

Tangan-tangan jahil yang merajalela
Membuat semuanya hancur.
Dengan pemikiran yang singkat
Mereka hancurkan keindahan bumi ini.

Sungguh ironis!
Bencana pun datang silih berganti
Kehancuran terus terjadi
Inilah imbalan yang kita dapat.

Senyuman indah yang menghias di bibir
Kini berubah menjadi deraian airmata.
Apalah daya perbuatan jahil
Menjadi imbalan bagi yang tak bersalah.
Bumiku telah murka!



ANALISIS PENYIMPANGAN BAHASA DALAM PUISI

LILIN KECILKU

Lilin kecilku
Di tengah kegelapan
Kau memberiku sepercik cahya
Hingga segala hal di sekitarku
Nampak oleh cahyamu

Perlahan ketakutan ini mulai sirna
Karena cahyamu yang terus menemani
Dalam segala hal kau mendampingiku
Menunjukkanku jalan yang harus kutempuh

Namun, perlahan kau mulai meredup
meredup, meredup, dan terus meredup!
Kemudian menghilang
Hanya meninggalkan tanda
Tanda, bahwa pernah kau ada di sampingku. 

Sahabat, kau bagai lilin kecil
Kau telah hadir dalam hidupku
Walau hanya sejenak
Mencari jalan kau telah menuntunku
Dan menemukan arah hidupku.

Analisis:
Pada puisi yang berjudul “Lilin Kecilku” terdapat beberapa penyimpangan, antara lain penyimpangan leksikal, penyimpangan semantik dan penyimpangan sintaksis. Penyimpangan leksikal yang terdapat dalam puisi ini terlihat pada kata cahya yang terletak pada baris ketiga dan kelima bait pertama dan baris kedua pada bait kedua. Kata cahya ini berasal dari kata cahaya. Kata cahya tidak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak ada dalam kamus besar bahasa Indonesia.  Namun, dalam puisi ini kata cahya digunakan untuk menyesuaikan keindahan puisi tersebut.
Penyimpangan semantik dalam puisi tersebut terlihat pada frase lilin kecil. Makna frase lilin kecil bukanlah “lilin yang kecil sebenarnya” sebagaimana makna denotasinya. Namun, dalam puisi ini frase lilin kecil memiliki makna konotasi yakni sahabat. Jadi, frase lilin kecil merupakan konotasi dari sahabat. Penyair mengandaikan bahwa lilin kecil tersebut layaknya sahabat yang hadir dalam hidupnya hanya sejenak, sebagaimana lilin kecil yang memberikan cahayanya dalam kegelapan, begitu pula sahabat yang memberikannya petunjuk namun kehadirannya hanya sejenak. Selain itu, terdapat pula kata kegelapan, kata ini dalam puisi tersebut tidaklah bermakna sesuai dengan makna denotasinya bahwa “keadaan yang gelap tanpa cahaya atau tanpa warna sedikitpun”. Kata kegelapan ini memiliki makna konotasi bingung, bimbang, ragu. Jadi, kata kegelapan ini menunjukkan suatu perasaan bingung, bimbang, atau ragu dalam menentukan keputusan. Ada pula kata cahya yang juga memiliki makna konotasi bahwa “adanya petunjuk untuk mengambil keputusan”, yang pada dasarnya memiliki makna “sinar atau terang yang memungkinkan untuk melihat suatu benda”.
Penyimpangan sintaksis dalam puisi tersebut terlihat pada kalimat “dalam segala hal kau mendampingiku” kalimat ini memiliki pola (O/S/P), ini menyalahi aturan sintaksis , jika menggunakan kaidah bahasa yang benar maka kalimat tersebut seharusnya “Kau mendampingiku dalam segala hal” (S/P/O).  Begitu pula pada kalimat “mencari jalan kau telah menuntunku” seharusnya “Kau telah menuntunku mencari jalan”.


SAHABATKU

Saat siang berubah menjadi malam
Itu bukan pikiranku.
Tapi, saat kau pergi dari hidupku
Itu adalah hal terburuk dalam hidupku.

Andai kudapat mengulang waktu
Tak ingin sekali pun Aku menyakitimu.
Andai kudapat mengulang waktu
Kan kucegah engkau untuk pergi.

Sahabatku!
Begitu besarkah kesalahanku?
Hingga kau pergi meninggalkanku
Tak adakah kata maaf untukku?

Sahabatku!
Tanpamu, Aku tiada berdaya
Aku hanya dapat berharap dan terus berharap
Kuharapkan darimu untukku maaf
Dan, doa untukmu yang terbaik dariku.

Analisis:
Dalam puisi tersebut terdapat penyimpangan fonologis dan penyimpangan sintaksis. Penyimpangan fonologis dalam puisi tersebut terlihat pada kata kan yang terdapat baris keempat bait kedua. Kata kan berasal dari kata akan, terdapat penghilangan satu huruf di awal kata yakni huruf ‘a’. Penyimpangan sintaksis dalam puisi ini terlihat pada kalimat “tak ingin sekali pun Aku menyakitimu” sebaiknya “Aku tak ingin sekali pun menyakitimu”. Kalimat selanjutnya “tanpamu, aku tiada berdaya” yang berpola O/S/P seharusnya “Aku tiada berdaya tanpamu” yang berpola S/P/O. Kalimat “kuharapkan darimu untukku maaf” (P/S/O/Pel) seharusnya “darimu kuharapkan maaf untukku” (S/P/Pel/O). Selain itu, kalimat “doa untukmu yang terbaik dariku” seharusnya “dariku yang terbaik doa untukmu”. 
     

LATAR BELAKANG SUBAGIO SASTROWARDOYO

Latar Belakang Keluarga:
Subagio Sastrowardoyo dilahirkan di Madiun (Jawa Timur) tanggal 1 Februari 1924. Ayahnya seorang pensiunan Wedana Distrik Uteran, Madiun, yang bernama Sutejo dan ibunya bernama Soejati. Subagio menikah dan dikaruniai tiga orang anak. Ia meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 18 Juli 1996 dalam usia 72 tahun.




Latar Belakang Pendidikan:
Pendidikan Subagio dilakukan di berbagai tempat, yaitu HIS di Bandung dan Jakarta. Pendidikan HBS, SMP, dan SMA di Yogyakarta. Pada tahun 1958 berhasil menamatkan studinya di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada dan 1963 meraih gelar master of art (M.A.) dari Department of Comparative Literature, Universitas Yale, Amerika Serikat.

Latar Belakang Pekerjaan:
Subagio pernah menjabat Ketua Jurusan Bahasa Indonesia B-1 di Yogyakarta (1954-1958). Ia juga pernah mengajar di almamaternya, Fakultas Sastra, UGM pada tahun 1958-1961. Pada 1966-1971 ia mengajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung . Selanjutnya, tahun 1971-1974 mengajar di Salisbury Teacherrs College, Australia Selatan, dan di Universitas Flinders, Australia Selatan tahun 1974-1981. Sebagai anggota Kelompok Kerja Sosial Budaya Lemhanas dan Direktur Muda Penerbitan PN Balai Pustaka (1981). Selain itu, ia juga pernah bekerja sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta (1982-1984) dan Pada musim panas 1984, ia juga pernah menjadi seorang instruktur tamu di Universitas Ohio, dan mengajarkan bahasa Indonesia.

Latar Belakang Kesastraan / Kebahasaan:
Dalam sastra Indonesia Subagio Sastrowardoyo lebih dikenal sebagai penyair meskipun tulisannya tidak terbatas pada puisi. Nama Subagio Sastrowardoyo dicatat pertama kali dalam peta perpuisian Indonesia ketika kumpulan puisinya Simphoni terbit tahun 1957 di Yogyakarta. Tentang kepenyairannya itu, Goenawan Mohamad mengatakan bahwa sajak-sajak Subagio adalah sajak rendah. Puisinya seolah-olah dicatat dari gumam. Ia ditulis oleh seorang yang tidak memberi aksentuasi pada gerak, pada suara keras, atau kesibukan di luar dirinya. Ia justru suatu perlawanan terhadap gerak, suara keras, serta kesibukan di luar sebab Subagio Sastrowardoyo memilih diam dan memenangkan diam. Itulah paling tidak sebagian dari karakter kepenyairan Subagio Sastrowardoyo.
Puisi-puisi Subagio umumnya dipandang mempunyai bobot filosofis yang tinggi dan mendalam, dan tidak dapat ditafsirkan secara harfiah. Perumpamaan dan lambang digunakannya secara dewasa dan matang. Sajaknya yang berjudul Dan Kematian Makin Akrab memenangkan Hadiah Horison untuk sajak-sajak yang dimuat tahun 1966-1967, dan tahun 1970 mendapatkan Anugerah Seni dari Pemerintah RI untuk kumpulan sajaknya Daerah Perbatasan (1970).
Kreatifitas Subagio Sastrowardoyo tidak terbatas sebagai penyair. Oleh karena itu, ia tidak saja dikenal sebagai penyair, tetapi sekaligus sebagai esais, kritikus sastra, dan cerpenis. Ajip Rosidi yang menggolongkannya ke dalam pengarang periode 1953—1961 menyatakan bahwa selain sebagai penyair, Subagio juga penting dengan prosa dan esai-esainya.
Cerpennya yang berjudul Kejantanan di Sumbing pernah mendapatkan hadiah sebagai cerpen terbaik. Dalam cerpen dan sajak-sajaknya, banyak dilukiskan manusia yang gampang dirangsang oleh nafsunya. Manusia-manusia Subagio adalah manusia-manusia yang dalam mencoba mempertahankan kewajiban tergoda oleh sifat-sifat kedagingannya.
Karya-karya Subagio Sastrowardoyo yang telah ditulisnya beragam dan banyak, seperti berikut ini:
A.    Kumpulan puisi
1.      Simphoni (1957)
2.      Daerah Perbatasan (1970)3
3.      Keroncong Motinggo (1975)
4.      Buku Harian (1979)
5.      Hari dan Hara (1982)
6.      Simponi Dua (1989)
7.      Dan Kematian Makin Dekat (1995)

B.     Kumpulan esai
1.      Bakat Alam dan Intelektualitas (1972)
2.      Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor (1976)
3.      Sosok Pribadi dalam Sajak (1980)
4.      Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983)
5.      Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (1989)
6.      Bunga Rampai Sastra Asean: Sastra Lisan Indonesia (1983)
7.      Modern Asean Plays Indonesia (di dalamnya dimuat drama “The Bottomless Well”, “Wow”, “Time Bomb”, dan “Dhemit”) (1992)
8.      Anthology of Asean Literatures: Volume III a: The Islamic Period in Indonesian Literature (1994)
C.     Kumpulan cerpen
Tulisan Subagio yang berupa cerpen terkumpul dalam sebuah kumpulan cerpen, yaitu Kedjantanan di Sumbing (1965). Selain itu, ia juga menerima hadiah dan penghargaan atas kreatifitasnya itu. Hadiah dan Penghargaan yang diterima:
1.      Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1983) untuk karyanya Sastra Hindia Belanda dan Kita.
2.      Hadiah Pertama dari majalah Kisah (1995) untuk cerpennya “Kedjantanan di Sumbing”.
3.      Hadiah dari majalah Horison untuk puisinya “Dan Kematian pun Semakin Akrab” yang dimuat dalam majalah itu tahun 1966/1967
4.      Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970) untuk kumpulan puisinya Daerah Perbatasan
5.      Penghargaan South East Asia Write Award (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand pada tahun 1991 untuk kumpulan puisinya Simponi Dua