Laman

Rabu, 02 Oktober 2013

Puisi

Bumi Kecilku

Bumi ini tak pernah sama dengan Bumi itu
Bumi ini tak pernah mampu menggantikan Bumi itu
Meski tersaji keindahan untuk mengenyangkan mata
Meski kebutuhan menjadi tak nampak
Namun, Bumi ini berbeda dengan Bumi itu
Bumi ini tak mampu memberikan cinta
Bumi ini tak mampu menyuguhkan kasih
Yang ada hanya ketakutan
Yang ada hanya kekhawatiran
Kegelisahan, Kegundahan, Kehancuran.

Tapi, Bumi itu mampu memberikan cinta
mampu menyuguhkan kasih
Menyediakan ketenangan, kedamaian, ketentraman, dan keberhasilan.

Salah kah jika aku terus merindukannya?
Salah kah jika aku ke Bumi ini untuk kembali ke Bumi itu?
Salah kah jika aku hanya mendambanya?
Aku hanya tahu yang kucari ada di Bumi itu
Yang ingin kulindungi ada di Bumi itu
Darah ini aliran dari Bumi itu
dan Aku tumbuh di Bumi itu

Rindu ini kian hari kian menusuk relung hati untuk kembali menyapanya
Menyapa panorama yang disuguhkannya.
Tapi, aku sakit, sakit yang begitu menyiksa
Ketika sang waktu tak ingin berdamai.

Tak mampu aku menjauh begitu lama
Ku ingin menyapanya
Memandangnya
Mewarnainya dengan senyum termanisku
Wahai Bumi kecilku

Puisi



IA TAHU SEGALANYA, KARENA IA ADALAH SEGALANYA
Mata ini dapat melihat
Telinga ini dapat mendengar
Bibir ini masih dapat berucap
Tubuh ini masih dapat berfungsi seutuhnya
Dan, dan Hati ini masih dapat merasa
Lalu, bagaimanakah aku akan dapat memungkiri karuni-Nya?
Ketika kusadari segala pemberian-Nya
Kusyukuri segala rahmat-Nya
Adakah yang lebih kubutuhkan daripada hal ini?
Tak ada lagi, tak ada, tak!!

Banyak menjadi satu, satu dari banyak untuk menuju yang hakiki
Tak perlu berdebat, tak perlu kompromi untuk menanyakan kesetiaanku
Karena itu tujuanku, itu impianku, itu hidupku.

Bagaimana aku harus memaknai kehidupanku?
Bagaimana aku bisa memanfaatkan semuanya untuk mencapai impian lainnya?
Sedangkan yang sesungguhnya ada pada tahta-Nya.
Kesempurnaan ada pada kuasa-Nya
Oh, aku tak bisa menunjukkan penghianatanku, karena Ia melihat hingga pori terkecil
Aku pun tak bisa menunjukkan pengabdianku, karena semua ingin menjadi terbaik dimata-Nya.
Tapi, Ia tahu segalanya, karena Ia adalah segalanya.

Aku malu menghadap padanya. Aku takut memohon padanya
Karena dosaku yang menggunung mengbuatku berkecil
Yah, belum terhitung dosaku yang tak kusadari.
Aku ingin bertumpu dan berkiblat pada-Nya
Aku ingin Ia memberiku anak panah.
Sungguh, niat itu lari bersembunyi pada gelapnya malam
Padahal ia indah diantara bintang
Saat raja siang hadir, ia bersembunyi diantara sinar
Padahal ia rupawan diantara pelangi
Aku ingin menjadi hamba yang berserah
Tapi, Ia tahu segalanya, karena Ia adalah segalanya.

Apakah yang masih perlu kukhawatirkan?
Janjinya tak terpungkiri
Pengampunannya tak terelakkan
Ia tahu segalanya, karena Ia adalah segalanya.
Tapi,
Kekhawatiranku,
Kecemasanku,
Ketakutanku,
ada pada diri ini.
Bagaimana menjaga amanah-Nya?



Puisi



MEMORIku

Apa aku salah?
Apa kamu benar?
Tak ada jawaban
Karena kau tak pernah tahu.
Tak terhitung morfem-morfem yang meluncur dari bibir panasmu,
Tak terhitung pula keranjang sampah yang kugunakan untuk menadahnya.
Oh! Sangat disayangkan, ketika kau masih mampu mengucap kata yang begitu membius.
Pragmatik hidup yang kau tinggalkan justru membuatku lebih kuat
Terlambatkah aku menyadarinya? Atau waktu memang sudah tepat?
Entahlah! Yang kutahu sudah cukup membuatku menjadi terdidik akan makna kehadiran dirimu.
Parole yang kudengar berbeda dari yang kurasa
Namun, karena itulah aku telah bersiap untuk menerima kesantunanmu.
Membentuk diriku yang tak rapuh, membentuk diriku yang tertutup, dan membentuk diriku yang tak butuh siapapun. Semua bohong, semua palsu, semua salah “Aku telah berhasil!”
Palsu untuk kukatakan benar, didalamnya hanya ada konotasi.
Semuanya berlalu, meski begitu lama untuk menyadari.
Jangan pernah tanya mengapa!
Jangan pernah tanya kapan! Dan
Jangan pernah tanya siapa!
Karena aku tak mengenalnya
Aku lupa penyebabnya,
Aku lupa waktunya, dan
Aku lupa subjeknya.
Selembar catatan yang kutulis
Selembar kalender yang kutandai, dan
Selembar foto yang kusimpan
Itulah MEMORIku!



Jumat, 21 Juni 2013

Resensi Novel 'Anak Sejuta Bintang'

I.        IDENTITAS NOVEL
Judul                           : ANAK SEJUTA BINTANG
Jenis Novel                  : Fiksi Biografis
Penulis                         : Akmal Nasery Basral
Penerbit                       : Exposé
Cetakan ke                  : II (Dua)
Tahun Terbit                : Februari 2012
Jumlah Halaman          : 405 halaman
No. ISBN                    : 9786029907223

II.     IDENTITAS PENULIS
Akmal Nasery Basral lahir di Jakarta, 28 April 1968 dari pasangan Basral Sutan Ma’ruf dan Asmaniar yang berasal dari Minangkabau. Dari pernikahannya dengan Sylvia, Akmal dikaruniai tiga orang putri: Jihan, Aurora, dan Ayla. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 8 Jakarta, ia melanjutkan pendidikannya di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Sebagai seorang sastrawan, Akmal Nasery Basral telah menghasilkan beberapa karya sastra, di antaranya novel Imperia (2005), Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku (kumpulan cerpen), Nagabonar Jadi 2, Sang Pencerah (2010), Presiden Prawiranegara, Batas, dan Simfoni Untuk Negeri: Twilite Orchestra dan Magenta Orchestra (non-fiksi). Untuk tahun 2012 selain novel Anak Sejuta Bintang, karay yang akan terbit adalah novel sejarah Napoleon dari Tanah Rencong dan novel Biografis tentang ulama-sastrawan Buya Hamka.



III. SINOPSIS
Novel Anak Sejuta Bintang merupakan novel tentang masa kecil Aburizal Bakrie. Ical (sapaan kecil Aburizal Bakrie) merupakan anak sulung dari Ahmad Bakrie dan Roosniah. Saat Ical masih kecil, ia dan keluarnya tinggal di Emma Laan, Jakarta Timur. Ical memiliki tiga adik kandung yakni Odi, Nirwan, dan Indra. Ical juga tinggal bersama kerabatnya Hajja Rafiah dan Tati.
Keluarga Bakrie merupakan keluarga yang terbuka, hangat, dan demokratis. Segala hal dalam keluarga tersebut dibicarakan dengan baik, membuat keluarga tersebut terlihat begitu bahagia. Bakrie merupakan seorang pengusaha yang memiliki prinsip bahwa pengusaha tidak boleh mendekat pada penguasa. Ia juga sangat menghargai hubungan persahabatan, karena menurutnya selain keluarga, sahabat juga mempunyai peran jika mendapat masalah. Keluarga Bakrie juga pernah mengalami kebangkrutan di perusahaan Bakrie & Brothers, namun mereka berhasil melewatinya dengan membangun kembali dari nol.   
Ical tumbuh dalam lingkungan keluarga yang berkecukupan. Namun, hal itu tidak membuatnya menjadi anak yang manja. Justru ia sering mengalami kekalahan dan pernah pula mengalami penolakan. Kehadiran keluarganya yang selalu mendengarkan cerita dan keluhannya serta memberi semangat menghadapi hidup ini membuatnya menjadi pribadi yang kuat dan pantang menyerah.
Ical sangat menyukai Barongsai, kesenangannya pun bertambah ketika diajak oleh ayahnya ke acara malam Cap Lak Meh di usianya sekitar tiga tahun lebih.
Disaat Bakrie dan Roosniah merancang untuk membeli vila dan rumah musibah menimpa keluarga tersebut. Kebahagiaan meluap-luap yang dialami pasangan muda itu tak berlangsung lama. Derita yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya, seketika datang menghampiri. Malaikat maut menjemput anak ketiga mereka yang diberi nama August Alamsjah beberapa saat setelah anak tersebut lahir. Peristiwa itu menyebabkan Bakrie dan Roosniah yang berumur 34 dan 24 tahun sangat terpukul. Semangat Bakrie untuk bekerja di perusahaan berkurang.
Belum hilang luka karena kepergian anak ketiganya, Ical dan Odi terserang penyakit Asma. Mereka mengobati anak-anaknya dengan menyewa vila di Cipanas agar Ical dan Odi dapat menghirup udara segar dan bebas dari polusi.
Pada awal November 1951, Roosniah kembali melahirkan seorang anak yang diberi nama Nirwan Dermawan Bakrie. Di tahun yang sama Ical memasuki Taman Kanak-Kanak Perwari. Ical tidak terlalu suka dengan pelajaran bernyanyi, ia lebih senang dengan pelajaran berhitung.
Ical mendapat banyak teman yang umumnya berasal dari keluarga yang memiliki hubungan politik kuat dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia) atau Masjumi (Majelis Sjuro Muslimin Indonesia). Beberapa teman Ical antara lain Lingga Kusuma Karim (putra Direktur BNI, Mr. Abdul Karim); Maher Algadrie (putra Hamid Algadrie, tokoh PSI, pendiri Partai Arab-Indonesia); Adian Harahap (putra tunggal Borail Harahap, salah seorang pelaku pemberontakan awak kapal Indonesia); Lukmanul Hakim (putra Hasan Sutan Mudo, pernah menjadi Wakil Kepala Penjara Cipinang); Meutia, Gemala, Halida (putri Wakil Presiden RI, Bung Hatta); Aisyah, Salvyah, dan Chalid Prawiranegara (anak dari Mr. Sjafruddin Prawiranegara, pernah menjabat sebagai Presiden De Javasche Bank, saat ini Bank Indonesia); Imral ‘Al’ Chair (putra Dokter Ramli, saudara Mr. Abdul Karim).
Teman Ical yang lain adalah Damiyanti Roosseno, Dewi Arkowati, Hendarmo “Bibot” Hendarmin,  Nuty Yulinda, Rohana Situmeang, Rudolf “Edo” Sigarlaki, Yunanda “Upik” dan Zulkarnain “Ucok” Hazairin.
Tahun 1952, Ical masuk Sekolah Rakyat Perwari. Di sekolah itu, hampir tiap tahun ajaran baru ada murid baru. Selain mendapat teman baru Ical juga kehilangan dua temannya selama bersekolah di SR Perwari. Lembu yang meninggal karena terlindas oleh kereta api saat akan membuat pisau dari paku untuk melawan para preman yang sering mengganggunya. Dan Susanto yang meninggal tenggelam di kolam renang.
Semasa sekolah di SR Perwari banyak kenangan yang memberikan pelajararan bagi Ical. Ketika ia belajar bermain bola  kasti, ia tahu bagaimana kekurangannya dalam permainan tersebut. Ia juga pernah bermain sepak bola melawan anak-anak Gang Ampiun dengan skor telak 1-7, namun berkat gurunya yang selalu memberi semangat mereka tetap memiliki semangat, dengan berpegang pada prinsip bahwa hasil yang luar biasa hanya bisa dicapai dengan persiapan yang luar biasa. Ical juga belajar Judo sesuai dengan sarang ayahnya, agar nantinya Ical mampu menyelamatkan dirinya jika mendapat perlakuan tidak baik dari preman yang mulai banyak bermunculan di Jakarta.
Pada 17 Agustus 1956 Ical dan kawan-kawan menjadi tim aubade pada upacara kemerdekaan. Mereka akan menyanyikan lagu-lagu perjuangan di hadapan Presiden Soekarno. Sepulang dari upacara tersebut, Ical ingin memiliki seragam layaknya Presiden Soekarno. Dan diam-diam merencanakan upacara di ciparay dekat vila keluarganya. Ical bekerja sama dengan sopir ayahnya dan penjaga vilanya. Mereka mengumpulkan anak-anak yang ada di Ciparay untuk mengikuti upacara tersebut. Upacara tersebut berlangsung dengan hikmat, disaksikan oleh masyarakat sekitar, serta Bakrie dan Roosniah yang secara diam-diam menyaksikan upacara tersebut.
Bakrie dan Roosniah juga mendidik Ical dalam hal agama, mereka mengambil guru mengaji untuk mengajar Ical dan Odi. Pada bulan Ramadhan, Bakrie mengajak keluarga untuk tadarrus Al-Quran setelah shalat magrib. Mereka mengajarkan kepada Ical untuk berbagi, seperti ketika Bakrie memberikan Jas kepada seseorang, dan mengajarkan Ical bahwa memberi sesuatu yang kita senangi kepada orang lain itu selalu membuat kita bahagia. Dengan demikian, Ical selalu senang memberi dan membantu temannya. 
Dari kelas satu hingga kelas lima Ical selalu mendapat peringkat pertama. Namun di perjuangan akhirnya Ical tidak mampu mempertahankan peringkatnya, ia menduduki peringkat kedua setelah sahabatnya Ingga, mengambil posisinya menjadi lulusan terbaik. Ical sangat sedih mengetahui hal itu. Namun kesedihan Ical  bukan karena sahabatnya Ingga yang menjadi peringkat pertama, tetapi karena Ical tidak mampu meraih posisi itu, terlebih lagi perbedaan angka Ical dan Ingga hanya satu angka.
Untuk mengatasi kesedihan anaknya Bakrie mengajak keluarganya untuk berlibur ke vila mereka di Cipanas. Di halaman vila pada malam hari, Bakrie memberikan semangat pada anaknya untuk tidak terpuruk dalam kesedihan. Sesuai dengan nama Aburizal yang berarti laki-laki yang melindungi, begitu pulalah harapan Bakrie dan Roosniah agar Ical menjadi pemimpin yang pemberani. Bakrie merupakan sosok ayah yang selalu hadir untuk mendampingi anak dalam menghadapi kehidupan ini.
Setelah diyakinkan oleh ayahnya dengan menyebutkan beberapa orang yang menjadi bintang dalam hidupnya, Ical mengucapkan kalimat yang membuat mata Bakrie tiba-tiba berair.
“Tapi, dari sejuta bintang yang Papa sebutkan tadi, ada bintangf yang lupa Papa sebutkan.”
“Bintang paling terang dalam hidup Ical adalah Papa dan Mama. Karena cahaya cinta Papa dan Mama sehingga Ical bisa menemukan cahaya bintang-bintang lainnya.”
           
IV. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN NOVEL
Novel Anak Sejuta Bintang sangat baik dalam memberikan gambaran kehidupan masa kecil Aburizal Bakrie. Novel ini sangat memberikan inspirasi bagi pembaca. Penggambaran keluarga yang harmonis, sosok ayah yang selalu mengajarkan nilai-nilai kehidupan dengan pesan-pesan yang disampaikan pada anaknya, sosok ibu yang selalu memberikan kedamaian dengan berbagai bentuk pengertiannya, serta sosok anak yang selalu bersemangat mengerjakan sesuatu dengan penuh keyakinan membuat novel ini sangat menarik.
Novel ini memberikan gambaran betapa besar pengaruh keluarga dalam perkembangan anak. Pola asuh orang tua dengan mengedepankan potensi Tuhan, alam, keluarga, dan lingkungan sangat membantu dalam tumbuh kembang anak. Penanaman nilai-nilai kehidupan pada anak melalui pendekatan musyawarah yang tidak terkesan menggurui, membuat anak dapat menerimanya dengan baik digambarkan dengan jelas dalam novel ini. Novel ini juga menggambarkan bagaimana sosok Ical menjadi anak yang senang berbagi dan menolong teman-temannya, hal itu Ical terapkan dari ajaran orang tuanya. Kisah ini patut menjadi contoh bagi para orang tua untuk mendidik anak-anaknya.
Selain kelebihan novel ini, juga terdapat kekurangan yakni penggunaan tokoh dalam novel yang terlalu banyak. Hal ini dapat menyebabkan pembaca akan kesulitan untuk mengingat karakter setiap tokoh. Misalnya, teman-teman Ical ketika sekolah di Taman Kanak-Kanak dan SR Perwari yang terlalu banyak dijelaskan dalam novel. Meskipun tokoh-tokoh tersebut berperan dalam cerita kehidupan Ical di masa kecilnya, namun pernggunaan banyak tokoh dapat membingungkan pembaca. Selain itu, ada beberapa cerita yang tidak dijelaskan dengan rinci, misalnya meninggalnya adik Ical, August Alamsjah. Penyebab meninggalnya adik kedua Ical tersebut tidak dijelaskan, hanya langsung menceritakan proses kelahiran yang normal, tiba-tiba diceritakan anak tersebut meninggal. Padahal bagian cerita tersebut cukup berpengaruh menggambarkan kisah keluarga Bakrie ketika mereka mengalami keterpurukan.

V.     KESIMPULAN

Novel Anak Sejuta Bintang merupakan novel yang memberi inspirasi yang menggambarkan peran penting keluarga bagi perkembangan anak. Novel ini sangat baik dibaca oleh orang tua, pendidik, dan anak-anak sebagai referensi bagi perkembangan anak, agar anak bisa menjadi pribadi yang berbudi dan berbakti kepada orang tua serta menjadi anak yang berhasil baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan pribadinya.

Cerpen

KA ALIM
Oleh: Andriani E.

“Ka Alim... Ka Alim...”
Kata itu berulang kali terdengar ditelingsaya, tak sabar kaki ini ingin melangkah keluar kamar. Dan benar, hanya dalam hitungan detik, saya telah berdiri di depan kamar.
“Mana? Mana? Ka Alimnya mana?” tanyaku.
“Aiss. Ka Ina terlambat. Ka Alim sudah lewat” jawab Lia dengan nada menyayangkan.
“Iya? Ahh! Padahal hari ini ingin sekali melihat wajahnya” tanggapku kecewa.
Sayang sekali, ini kesempatan terakhirku untuk melihatnya hari ini, tapi justru kulewatkan. Kakiku sampai kesandung meja saat berlari keluar kamar karea cepat-cepat, tetap saja tidak bisa melihatnya. Yah, mau bilang apa lagi, nasi sudah menjadi bubur. Semoga besok bisa melihatnya.
Saat kembali duduk di depan meja belajarku, minat untuk kembali bergaul dengan buku-buku yang ada di hadapanku sudah hilang. Pikiranku pun melayang mengingat hal-hal mengenai Ka Alim.
Ya! Begitulah ia akrab disapa ‘Ka Alim’. Sosok pemuda yang menjadi buah bibir di kosku tiap hari, bahkan hingga lima kali sehari layaknya waktu sholat. Tubuhnya tinggi seperti artis Korea Jung Il Woo. He... rasanya agak berlebihan. Kulitnya tidak terlalu hitam juga tidak terlalu putih, jadi yang sedang-sedang saja. Tidak lupa wajahnya yang selalu nampak bersih dan segar. Tiap waktu sholat, ia pasti lewat depan kosku, harapannya sih ia akan singgah, tapi tentunya ia lewat dengan tujuan pergi ke mesjid.  Dengan baju kokoh dan sarungnya yang berwarna biru kotak-kotak, ia berjalan dengan santai menuju mesjid. Saat ia lewat, saya dan teman-teman kosku tidak akan melewatkan kesempatan untuk memanggilnya, dengan sapaan ‘Ka Alim’. Paling sering saat waktu sholat magrib akan tiba, kami pasti telah menunggu depan kamar masing-masing untuk memanggilnya.
Suara Lia memecah lamunanku
“Ina besok masuk pukul berapa?” tanya Lia
“Pukul 10.00” jawabku
“Kalau begitu, besok berangkatnya sama-sama yah!”
“Ok!”
Karena rasa malas untuk kembali belajar, saya memutuskan untuk bergabung dengan teman kosku yang lain di sebelah kamarku. Sedikit me-refresh otak dengan ikut karaokean. Sudah beberapa jam duduk untuk kerja tugas tak ada salahnya sejenak meninggalkannya.
***
Kali ini saya tidak akan melewatkan kesempatan untuk melihatnya. Pukul 5 sore, saya duduk depan kamar beserta teman yang lain sambil bercerita menunggu sesosok manusia salah satu ciptaan Tuhan yang menjadi idola di kosku ini.
Tepat pukul 17.45, ia lewat dengan langkah kaki yang pasti. Kami pun berlomba memanggilnya.
“Ka Alim!” Teriakku
“Ka Alim!” Sapa Lia
“Ka Alim! Namanya siapa?” teriak Luna, teman kosku yang lain
Seperti biasa, ia hanya akan memandang sekali ke arah kami yang kira-kira derajat pergerakan wajahnya hanya berkisar 45o. Sungguh!, meski beberapa orang yang memanggil, ia hanya akan memandang sekali hingga menghilang dari pandangan. Meskipun demikian, saya tetap senang akhirnya tercapai juga keinginanku yang dari kemarin tertunda.
Oh iya, satu hal yang membuat saya dan teman-teman yang lain selalu penasaran mengenai pemuda itu, yakni karena kami belum tahu namanya yang sebenarnya. Sapaannya ‘Ka Alim’ hanyalah sebuah nama yang kami berikan karena kekaguman kami melihatnya sering pergi sholat ke masjid setiap waktu sholat. Kami pun bertambah kagum ketika melihat kebaikannya kepada seorang kakek peminta-minta. Dua tahun lebih saya menetap di kos ini, bahkan seniorku yang sudah menerima gelar sarjananya pun belum bisa mengetahui nama asli pemuda itu. Yang menjadi aneh adalah nama itu bukanlah nama aslinya, namun saat kami menyapa, pasti ia akan memandang ke arah kami.
Beberapa cara telah dilakukan untuk mengetahui nama pemuda itu, mulai dari yang terang-terangan hingga yang gelap-gelapan, dari teriak menanyakan namanya, bertanya ke orang lain, hingga menyuruh anak kecil untuk mencari tahu namanya. Tetapi semua usaha itu tidak membuahkan hasil. Setiap hari kami hanya dapat melihatnya dari jarak beberapa meter, tanpa ada keberanian untuk mendekati dan menanyakan namanya dengan lebih sopan. Menurut Luna, hal ini disebabkan oleh faktor gengsi dan harga diri sebagai perempuan. Tapi, menurutku itu karena faktor malu dan tidak adanya keberanian. Entah siapa yang benar.
Setelah Ka Alim hilang dari pandangan, saya dan teman-teman meninggalkan tempat duduk dan bergegas mengambil air wudhu. Beberapa saat suasana kos sepi, namun kembali riuh ketika waktu sholat usai. Berkumpul kembali di depan kamar dan bercerita tentang ini dan itu. Beberapa cerita tergabung dari satu orang ke orang lainnya.
Hampir sejam kami bercerita, rasa lapar pun mulai menghampiri. Muncul gagasan untuk mencari makan dari Luna. Tampa pikir panjang, semuanya berdiri dan bersiap untuk keluar mencari makanan yang cocok untuk disantap malam ini. Keluar bersama-sama sudah menjadi kegiatan rutin bagi kami.
Beberapa meter melewati kosan kami, tiba-tiba ada sebuah mobil yang singgah di tepi jalan, sepertinya ingin parkir di sana, kira-kira berjarak sepuluh langkah dari kami. Mobil berwarna merah itu berhasil menarik perhatian kami. Langkah kaki tidak terhenti, namun mata tetap tertuju pada mobil merah itu. Satu, dua, tiga langkah terlewati dengan otak yang terus bekerja di kepala masing-masing memikirkan siapa gerangan pemilik mobil tersebut.
Dan, ketika kami tepat berada di depan mobil tersebut, pemilik mobil membuka pintu mobil dan keluar dari mobil. Mataku meliriknya dari arah kaki hingga kepala. Mungkin juga teman-teman yang lain melakukan hal yang sama. Beberapa detik kemudian, tepat saat saya melihat wajah orang itu terdengar suara teriakan.
“Ka Alim!”        
Tanpa sadar Luna berteriak menyebut nama itu disaat ia berada pada jarak yang sangat dekat dengan pemuda itu. Saya terkejut, Lia terkejut, teman yang lain terkejut, pemuda itu pun ikut terkejut. Semua mata tertuju pada Luna. Entah berapa lama waktu seakan terhenti. Saya tak menyangka pemilik mobil itu adalah Ka Alim dan lebih tidak menyangka lagi Luna berteriak tepat di depannya. Saya dan teman-teman yang lain jadi salah tingkah karena malu ketahuan memperhatikannya. Kami mempercepat langkah meninggalkan tempat itu. Entah apa yang muncul dalam benak pemuda itu, intinya ia tahu bahwa kami memperhatikannya.

Beberapa meter dari tempat itu, tawa yang dari tadi tertahan akhirnya lepas juga. Sepanjang jalan terus membahas pemuda itu. Semestinya ada kesempatan untuk berkenalan dengannya, tetapi kesempatan itu sirna hanya karena teriakan Luna.  Dari percakapan panjang, tercipta sebuah taruhan di antara kami. ‘Barangsiapa yang pertama berhasil mengetahui nama pemuda itu akan mendapat hadiah dari yang lainnya’ seperti itulah kira-kira bunyi dari taruhan yang tercipta di jalan pada malam itu. Saya sangat antusias menanggapi taruhan tersebut, tentu saja karena saya tidak ingin didahului orang lain dan ingin mendapat hadiah. Selain itu, saya tidak ingin terus dihantui rasa penasaran untuk jangka waktu yang lebih lama lagi.