Laman

Jumat, 21 Juni 2013

Cerpen

KA ALIM
Oleh: Andriani E.

“Ka Alim... Ka Alim...”
Kata itu berulang kali terdengar ditelingsaya, tak sabar kaki ini ingin melangkah keluar kamar. Dan benar, hanya dalam hitungan detik, saya telah berdiri di depan kamar.
“Mana? Mana? Ka Alimnya mana?” tanyaku.
“Aiss. Ka Ina terlambat. Ka Alim sudah lewat” jawab Lia dengan nada menyayangkan.
“Iya? Ahh! Padahal hari ini ingin sekali melihat wajahnya” tanggapku kecewa.
Sayang sekali, ini kesempatan terakhirku untuk melihatnya hari ini, tapi justru kulewatkan. Kakiku sampai kesandung meja saat berlari keluar kamar karea cepat-cepat, tetap saja tidak bisa melihatnya. Yah, mau bilang apa lagi, nasi sudah menjadi bubur. Semoga besok bisa melihatnya.
Saat kembali duduk di depan meja belajarku, minat untuk kembali bergaul dengan buku-buku yang ada di hadapanku sudah hilang. Pikiranku pun melayang mengingat hal-hal mengenai Ka Alim.
Ya! Begitulah ia akrab disapa ‘Ka Alim’. Sosok pemuda yang menjadi buah bibir di kosku tiap hari, bahkan hingga lima kali sehari layaknya waktu sholat. Tubuhnya tinggi seperti artis Korea Jung Il Woo. He... rasanya agak berlebihan. Kulitnya tidak terlalu hitam juga tidak terlalu putih, jadi yang sedang-sedang saja. Tidak lupa wajahnya yang selalu nampak bersih dan segar. Tiap waktu sholat, ia pasti lewat depan kosku, harapannya sih ia akan singgah, tapi tentunya ia lewat dengan tujuan pergi ke mesjid.  Dengan baju kokoh dan sarungnya yang berwarna biru kotak-kotak, ia berjalan dengan santai menuju mesjid. Saat ia lewat, saya dan teman-teman kosku tidak akan melewatkan kesempatan untuk memanggilnya, dengan sapaan ‘Ka Alim’. Paling sering saat waktu sholat magrib akan tiba, kami pasti telah menunggu depan kamar masing-masing untuk memanggilnya.
Suara Lia memecah lamunanku
“Ina besok masuk pukul berapa?” tanya Lia
“Pukul 10.00” jawabku
“Kalau begitu, besok berangkatnya sama-sama yah!”
“Ok!”
Karena rasa malas untuk kembali belajar, saya memutuskan untuk bergabung dengan teman kosku yang lain di sebelah kamarku. Sedikit me-refresh otak dengan ikut karaokean. Sudah beberapa jam duduk untuk kerja tugas tak ada salahnya sejenak meninggalkannya.
***
Kali ini saya tidak akan melewatkan kesempatan untuk melihatnya. Pukul 5 sore, saya duduk depan kamar beserta teman yang lain sambil bercerita menunggu sesosok manusia salah satu ciptaan Tuhan yang menjadi idola di kosku ini.
Tepat pukul 17.45, ia lewat dengan langkah kaki yang pasti. Kami pun berlomba memanggilnya.
“Ka Alim!” Teriakku
“Ka Alim!” Sapa Lia
“Ka Alim! Namanya siapa?” teriak Luna, teman kosku yang lain
Seperti biasa, ia hanya akan memandang sekali ke arah kami yang kira-kira derajat pergerakan wajahnya hanya berkisar 45o. Sungguh!, meski beberapa orang yang memanggil, ia hanya akan memandang sekali hingga menghilang dari pandangan. Meskipun demikian, saya tetap senang akhirnya tercapai juga keinginanku yang dari kemarin tertunda.
Oh iya, satu hal yang membuat saya dan teman-teman yang lain selalu penasaran mengenai pemuda itu, yakni karena kami belum tahu namanya yang sebenarnya. Sapaannya ‘Ka Alim’ hanyalah sebuah nama yang kami berikan karena kekaguman kami melihatnya sering pergi sholat ke masjid setiap waktu sholat. Kami pun bertambah kagum ketika melihat kebaikannya kepada seorang kakek peminta-minta. Dua tahun lebih saya menetap di kos ini, bahkan seniorku yang sudah menerima gelar sarjananya pun belum bisa mengetahui nama asli pemuda itu. Yang menjadi aneh adalah nama itu bukanlah nama aslinya, namun saat kami menyapa, pasti ia akan memandang ke arah kami.
Beberapa cara telah dilakukan untuk mengetahui nama pemuda itu, mulai dari yang terang-terangan hingga yang gelap-gelapan, dari teriak menanyakan namanya, bertanya ke orang lain, hingga menyuruh anak kecil untuk mencari tahu namanya. Tetapi semua usaha itu tidak membuahkan hasil. Setiap hari kami hanya dapat melihatnya dari jarak beberapa meter, tanpa ada keberanian untuk mendekati dan menanyakan namanya dengan lebih sopan. Menurut Luna, hal ini disebabkan oleh faktor gengsi dan harga diri sebagai perempuan. Tapi, menurutku itu karena faktor malu dan tidak adanya keberanian. Entah siapa yang benar.
Setelah Ka Alim hilang dari pandangan, saya dan teman-teman meninggalkan tempat duduk dan bergegas mengambil air wudhu. Beberapa saat suasana kos sepi, namun kembali riuh ketika waktu sholat usai. Berkumpul kembali di depan kamar dan bercerita tentang ini dan itu. Beberapa cerita tergabung dari satu orang ke orang lainnya.
Hampir sejam kami bercerita, rasa lapar pun mulai menghampiri. Muncul gagasan untuk mencari makan dari Luna. Tampa pikir panjang, semuanya berdiri dan bersiap untuk keluar mencari makanan yang cocok untuk disantap malam ini. Keluar bersama-sama sudah menjadi kegiatan rutin bagi kami.
Beberapa meter melewati kosan kami, tiba-tiba ada sebuah mobil yang singgah di tepi jalan, sepertinya ingin parkir di sana, kira-kira berjarak sepuluh langkah dari kami. Mobil berwarna merah itu berhasil menarik perhatian kami. Langkah kaki tidak terhenti, namun mata tetap tertuju pada mobil merah itu. Satu, dua, tiga langkah terlewati dengan otak yang terus bekerja di kepala masing-masing memikirkan siapa gerangan pemilik mobil tersebut.
Dan, ketika kami tepat berada di depan mobil tersebut, pemilik mobil membuka pintu mobil dan keluar dari mobil. Mataku meliriknya dari arah kaki hingga kepala. Mungkin juga teman-teman yang lain melakukan hal yang sama. Beberapa detik kemudian, tepat saat saya melihat wajah orang itu terdengar suara teriakan.
“Ka Alim!”        
Tanpa sadar Luna berteriak menyebut nama itu disaat ia berada pada jarak yang sangat dekat dengan pemuda itu. Saya terkejut, Lia terkejut, teman yang lain terkejut, pemuda itu pun ikut terkejut. Semua mata tertuju pada Luna. Entah berapa lama waktu seakan terhenti. Saya tak menyangka pemilik mobil itu adalah Ka Alim dan lebih tidak menyangka lagi Luna berteriak tepat di depannya. Saya dan teman-teman yang lain jadi salah tingkah karena malu ketahuan memperhatikannya. Kami mempercepat langkah meninggalkan tempat itu. Entah apa yang muncul dalam benak pemuda itu, intinya ia tahu bahwa kami memperhatikannya.

Beberapa meter dari tempat itu, tawa yang dari tadi tertahan akhirnya lepas juga. Sepanjang jalan terus membahas pemuda itu. Semestinya ada kesempatan untuk berkenalan dengannya, tetapi kesempatan itu sirna hanya karena teriakan Luna.  Dari percakapan panjang, tercipta sebuah taruhan di antara kami. ‘Barangsiapa yang pertama berhasil mengetahui nama pemuda itu akan mendapat hadiah dari yang lainnya’ seperti itulah kira-kira bunyi dari taruhan yang tercipta di jalan pada malam itu. Saya sangat antusias menanggapi taruhan tersebut, tentu saja karena saya tidak ingin didahului orang lain dan ingin mendapat hadiah. Selain itu, saya tidak ingin terus dihantui rasa penasaran untuk jangka waktu yang lebih lama lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar