KA
ALIM
Oleh:
Andriani E.
“Ka Alim... Ka Alim...”
Kata itu berulang kali
terdengar ditelingsaya, tak sabar kaki ini ingin melangkah keluar kamar. Dan
benar, hanya dalam hitungan detik, saya telah berdiri di depan kamar.
“Mana? Mana? Ka Alimnya
mana?” tanyaku.
“Aiss. Ka Ina
terlambat. Ka Alim sudah lewat” jawab Lia dengan nada menyayangkan.
“Iya? Ahh! Padahal hari
ini ingin sekali melihat wajahnya” tanggapku kecewa.
Sayang sekali, ini
kesempatan terakhirku untuk melihatnya hari ini, tapi justru kulewatkan. Kakiku
sampai kesandung meja saat berlari keluar kamar karea cepat-cepat, tetap saja
tidak bisa melihatnya. Yah, mau bilang apa lagi, nasi sudah menjadi bubur.
Semoga besok bisa melihatnya.
Saat kembali duduk di
depan meja belajarku, minat untuk kembali bergaul dengan buku-buku yang ada di
hadapanku sudah hilang. Pikiranku pun melayang mengingat hal-hal mengenai Ka
Alim.
Ya! Begitulah ia akrab
disapa ‘Ka Alim’. Sosok pemuda yang menjadi buah bibir di kosku tiap hari,
bahkan hingga lima kali sehari layaknya waktu sholat. Tubuhnya tinggi seperti
artis Korea Jung Il Woo. He... rasanya agak berlebihan. Kulitnya tidak terlalu
hitam juga tidak terlalu putih, jadi yang sedang-sedang saja. Tidak lupa
wajahnya yang selalu nampak bersih dan segar. Tiap waktu sholat, ia pasti lewat
depan kosku, harapannya sih ia akan singgah, tapi tentunya ia lewat dengan
tujuan pergi ke mesjid. Dengan baju
kokoh dan sarungnya yang berwarna biru kotak-kotak, ia berjalan dengan santai
menuju mesjid. Saat ia lewat, saya dan teman-teman kosku tidak akan melewatkan
kesempatan untuk memanggilnya, dengan sapaan ‘Ka Alim’. Paling sering saat
waktu sholat magrib akan tiba, kami pasti telah menunggu depan kamar
masing-masing untuk memanggilnya.
Suara Lia memecah
lamunanku
“Ina besok masuk pukul
berapa?” tanya Lia
“Pukul 10.00” jawabku
“Kalau begitu, besok
berangkatnya sama-sama yah!”
“Ok!”
Karena
rasa malas untuk kembali belajar, saya memutuskan untuk bergabung dengan teman
kosku yang lain di sebelah kamarku. Sedikit me-refresh otak dengan ikut karaokean. Sudah beberapa jam duduk untuk
kerja tugas tak ada salahnya sejenak meninggalkannya.
***
Kali ini saya tidak
akan melewatkan kesempatan untuk melihatnya. Pukul 5 sore, saya duduk depan
kamar beserta teman yang lain sambil bercerita menunggu sesosok manusia salah
satu ciptaan Tuhan yang menjadi idola di kosku ini.
Tepat pukul 17.45, ia
lewat dengan langkah kaki yang pasti. Kami pun berlomba memanggilnya.
“Ka Alim!” Teriakku
“Ka Alim!” Sapa Lia
“Ka Alim! Namanya
siapa?” teriak Luna, teman kosku yang lain
Seperti biasa, ia hanya
akan memandang sekali ke arah kami yang kira-kira derajat pergerakan wajahnya
hanya berkisar 45o. Sungguh!, meski beberapa orang yang memanggil, ia
hanya akan memandang sekali hingga menghilang dari pandangan. Meskipun
demikian, saya tetap senang akhirnya tercapai juga keinginanku yang dari
kemarin tertunda.
Oh iya, satu hal yang
membuat saya dan teman-teman yang lain selalu penasaran mengenai pemuda itu, yakni
karena kami belum tahu namanya yang sebenarnya. Sapaannya ‘Ka Alim’ hanyalah
sebuah nama yang kami berikan karena kekaguman kami melihatnya sering pergi sholat
ke masjid setiap waktu sholat. Kami pun bertambah kagum ketika melihat
kebaikannya kepada seorang kakek peminta-minta. Dua tahun lebih saya menetap di
kos ini, bahkan seniorku yang sudah menerima gelar sarjananya pun belum bisa
mengetahui nama asli pemuda itu. Yang menjadi aneh adalah nama itu bukanlah
nama aslinya, namun saat kami menyapa, pasti ia akan memandang ke arah kami.
Beberapa cara telah dilakukan
untuk mengetahui nama pemuda itu, mulai dari yang terang-terangan hingga yang
gelap-gelapan, dari teriak menanyakan namanya, bertanya ke orang lain, hingga
menyuruh anak kecil untuk mencari tahu namanya. Tetapi semua usaha itu tidak
membuahkan hasil. Setiap hari kami hanya dapat melihatnya dari jarak beberapa
meter, tanpa ada keberanian untuk mendekati dan menanyakan namanya dengan lebih
sopan. Menurut Luna, hal ini disebabkan oleh faktor gengsi dan harga diri
sebagai perempuan. Tapi, menurutku itu karena faktor malu dan tidak adanya
keberanian. Entah siapa yang benar.
Setelah Ka Alim hilang
dari pandangan, saya dan teman-teman meninggalkan tempat duduk dan bergegas
mengambil air wudhu. Beberapa saat suasana kos sepi, namun kembali riuh ketika
waktu sholat usai. Berkumpul kembali di depan kamar dan bercerita tentang ini
dan itu. Beberapa cerita tergabung dari satu orang ke orang lainnya.
Hampir sejam kami bercerita,
rasa lapar pun mulai menghampiri. Muncul gagasan untuk mencari makan dari Luna.
Tampa pikir panjang, semuanya berdiri dan bersiap untuk keluar mencari makanan
yang cocok untuk disantap malam ini. Keluar bersama-sama sudah menjadi kegiatan
rutin bagi kami.
Beberapa meter melewati
kosan kami, tiba-tiba ada sebuah mobil yang singgah di tepi jalan, sepertinya
ingin parkir di sana, kira-kira berjarak sepuluh langkah dari kami. Mobil
berwarna merah itu berhasil menarik perhatian kami. Langkah kaki tidak
terhenti, namun mata tetap tertuju pada mobil merah itu. Satu, dua, tiga
langkah terlewati dengan otak yang terus bekerja di kepala masing-masing
memikirkan siapa gerangan pemilik mobil tersebut.
Dan, ketika kami tepat
berada di depan mobil tersebut, pemilik mobil membuka pintu mobil dan keluar
dari mobil. Mataku meliriknya dari arah kaki hingga kepala. Mungkin juga
teman-teman yang lain melakukan hal yang sama. Beberapa detik kemudian, tepat
saat saya melihat wajah orang itu terdengar suara teriakan.
“Ka Alim!”
Tanpa sadar Luna
berteriak menyebut nama itu disaat ia berada pada jarak yang sangat dekat
dengan pemuda itu. Saya terkejut, Lia terkejut, teman yang lain terkejut,
pemuda itu pun ikut terkejut. Semua mata tertuju pada Luna. Entah berapa lama
waktu seakan terhenti. Saya tak menyangka pemilik mobil itu adalah Ka Alim dan
lebih tidak menyangka lagi Luna berteriak tepat di depannya. Saya dan
teman-teman yang lain jadi salah tingkah karena malu ketahuan memperhatikannya.
Kami mempercepat langkah meninggalkan tempat itu. Entah apa yang muncul dalam
benak pemuda itu, intinya ia tahu bahwa kami memperhatikannya.
Beberapa meter dari
tempat itu, tawa yang dari tadi tertahan akhirnya lepas juga. Sepanjang jalan
terus membahas pemuda itu. Semestinya ada kesempatan untuk berkenalan
dengannya, tetapi kesempatan itu sirna hanya karena teriakan Luna. Dari percakapan panjang, tercipta sebuah
taruhan di antara kami. ‘Barangsiapa yang pertama berhasil mengetahui nama
pemuda itu akan mendapat hadiah dari yang lainnya’ seperti itulah kira-kira
bunyi dari taruhan yang tercipta di jalan pada malam itu. Saya sangat antusias
menanggapi taruhan tersebut, tentu saja karena saya tidak ingin didahului orang
lain dan ingin mendapat hadiah. Selain itu, saya tidak ingin terus dihantui rasa
penasaran untuk jangka waktu yang lebih lama lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar