TEORI
SAPIR-WHORF
Bahasa adalah medium
tanpa batas yang membawa segala sesuatu di dalamnya, yaitu segala sesuatu mampu
termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu, memahami bahasa akan
memungkinkan untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah
media manusia berpikir secara abstrak dimana objek-objek faktual
ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang abstrak. Dengan adanya
transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai sebuah objek, meskipun
objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya.
Seorang filosof, H.G.
Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa
menggunakan bahasa. Ludwid van Wittgenstein mengatakan bahwa batas dunia
manusia adalah bahasa mereka.
Sebuah uraian yang
cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran dinyatakan oleh
Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Sapir dan Whorf melihat bahwa pikiran
manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan
manusia. Sapir dan Whorf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara
bahasa dan pikiran.
1. Hipotesis
pertama adalah linguistic relativity hypothesis
(hipotesis relativitas bahasa) yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa
secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa. Perbedaan bahasa
menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
2. Hipotesis
kedua adalah linguistic determinism
yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi
dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia
ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Edward Sapir
(1884-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von
Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah “belas
kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya
bermasyarakat. Menurut Sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu
masyarakat sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa
itu. Karena itulah, tidak ada dua bahasa yang sama sehingga dapat dianggap
mewakili satu masyarakat yang sama.
Setiap bahasa dari satu
masyarakat telah “mendirikan” satu dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu.
Jadi, berapa banyaknya masyarakat manusia di dunia ini adalah sama banyaknya
dengan jumlah bahasa yang ada di dunia ini. Dengan tegas Sapir juga menyatakan
apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami, dan kita perbuat sekarang ini
adalah karena sifat-sifat (tabiat-tabiat) bahasa kita telah menggariskannya
terlebih dahhulu.
Benjamin Lee Whorf
(1897-1941), murid Sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan
berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri
sendiri-sendiri. Pandangan klasik juga mengatakan meskipun setiap bahasa
mempunyai bunyi-bunyi yang berbeda-beda, tetapi semuanya menyatakan
rumusan-rumusan yang sama yang didasarkan pada pemikiran dan pengamatan yang
sama. Dengan demikian semua bahasa itu merupakan cara-cara pernyataan pikiran
yang sejajar dan saling dapat diterjemahkan satu sama lain.
Sama halnya dengan Von
Humboldt dan Sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran
seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Sebagai
contoh, whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan “kaleng kosong”
bekas minyak bisa meledak. Kata kosong
digunakan dengan pengertian tidak ada minyak di dalamnya. Padahal sebenarnya
ada cukup efek-lepas (after effect)
pada kaleng bekas minyak untuk bisa meledak. Jika isi kaleng dibuang, maka
kaleng itu akan kosong, tetapi dalam ilmu kimia hal ini tidak selalu benar.
Kaleng minyak yang sudah kosong masih bisa meledak kalau terkena panas. Di
sinilah, menurut Whorf, tampak jalan pikiran seseorang telah ditentukan
bahasanya.
Menurut Whorf
selanjutnya sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya merupakan alat untuk
mengungkapkan ide-ide, tetapi juga merupakan pembentuk ide-ide itu, merupakan
program kegiatan mental seseorang, penentu struktur mental seseorang. Dengan
kata lain, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang, bukan
kata-kata. Hipotesis Sapir-Whorf tampak lebih memfokuskan pada hubungan antara
tata bahasa dan pikiran manusia, bukan kata-kata (Chaer, 2009:53).
Setelah meneliti bahasa
Hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat, dengan mendalam,
Whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis Whorf (atau juga
hipotesis Sapir-Whorf) mengenai relativitas bahasa. Menurut hipotesis itu,
bahasa-bahasa yang berbeda “membedah” alam ini dengan cara yang berbeda,
sehingga terciptalah satu relativitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada
bahasa-bahasa beragam yang digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat.
Hipotesis relativitas
linguistik beranggapan bahwa bahasa hanya refleksi dari pikiran yang memunculkan
makna. Bahasa memengaruhi pikiran, sehingga muncul ungkapan bahwa bahasa
memengaruhi cara berpikir penuturnya. Determinisme linguistik adalah klaim
bahwa bahasa menentukan atau sangat memengaruhi cara seseorang berpikir atau
mempersepsi dunia. Whorf sangat terkesan oleh kenyataan bahwa masing-masing
bahasa menekankan pada perbedaan struktur berdasarkan perbedaan aspek dunia
sebagai landasan pembentukan struktur tersebut. dia menyakini bahwa penekanan
itu memberi pengaruh cukup besar terhadap cara penutur bahasa berpikir tentang
dunia. Whorf meyakini bahwa kehidupan suatu masyarakat dibangun oleh
sifat-sifat bahasa yang digunakan anggota masyarakat tersebut.
Pengaruh bahasa
terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan melalui aspek formal
bahasa, misalnya grammar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily
constrain the conceptual representations available to their speakers”
(Grammar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi
konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut). Selain habituasi dan aspek
formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Sapir dan Whorf
adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang
akan menjadi premis dalam berpikir.
Untuk memperkuat
hipotesisnya, Sapir dan Whorf memaparkan beberapa contoh. Salah satu contoh
yang diambil adalah kata salju. Whorf
mengatakan bahwa sebagian besar manusia memiliki kata yang sama untuk
menggambarkan salju. Salju yang baru saja turun dari langit, salju yang sudah
mengeras atau salju yang meleleh, semua objek salju tersebut tetap dinamakan
salju. Berbeda dengan kebanyakan masyarakat, orang Eskimo memberi label yang
berbeda pada objek salju tersebut. Banyak lagi contoh yang lain, misalnya orang
Hanunoo di Filipina memiliki kira-kira 92 nama untuk berbagai jenis rice (padi). Orang Arab memiliki
beberapa nama untuk camels (unta).
Whorf merasa bahwa terminologi/istilah yang sangat beragam tersebut menyebabkan
penutur bahasa tersebut mempersepsi dunia secara berbeda-beda dari seorang yang
hanya memiliki satu kata untuk satu kategori tertentu. Sapir menolak pandangan
yang menyatakan bahwa berpikir dan bahasa merupakan dua entitas berbeda atau
berdiri sendiri. Sapir dan Whorf sepakat bahwa bahasa menentukan pikiran
seseorang. Jalan pikiran seseorang sangat ditentukan oleh bahasanya.
Berdasarkan hipotesis
Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa
di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, dan lain-lain) adalah sama
karena bahasa-bahasa mereka mempunyai struktur yang sama. Sedangkan hidup dan
pandangan hidup bangsa-bangsa lain seperti Cina, Jepang, Amerika, Eropa,
Afrika, dan lain-lain adalah berlainan karena struktur bahasa mereka berlainan.
Untuk memperjelas hal ini Whorf membandingkan kebudayaan Hopi dan kebudayaan
Eropa. Kebudayaan Hopi dioraganisasi berdasarkan peristiwa-peristiwa (event),
sedangkan kebudayaan Eropa diorganisasi berdasarkan ruang (space) dan waktu
(time). Menurut kebudayaan Hopi kalau satu bibit ditanam maka bibit itu akan
tumbuh. Jarak waktu yang diperlukan antara masa menanam dan tumbuhnya bibit
tidaklah penting. Yang penting adalah peristiwa menanam dan peristiwa tumbuhnya
bibit itu. Sedangkan bagi kebudayaan Eropa jangka waktu itulah yang penting.
Menurut Whorf, inilah bukti bahwa bahasa mereka telah menggariskan realitas
hidup dengan cara-cara yang berlainan.
Untuk menunjukkan bahwa
bahasa menuntun jalan pikiran manusia, Whorf menunjukkan contoh lain. Kalimat see that wave dalam bahasa Inggris
mempunyai pola yang sama dengan kalimat see
that house. Dalam see that house
kita memang bisa melihat sebuah rumah, tetapi dalam kalimat see that wave menurut Whorf belum ada
seorang pun yang melihat satu ombak. Jadi, di sini kita seolah-olah melihat
satu ombak karena bahasa telah menggambarkan begitu kepada kita. ini adalah
satu kepalsuan fakta yang disuguhkan oleh satu organisasi hidup seperti ini;
dan kita tidak sadar bahwa pandangan hidup kita telah dikungkung oleh
ikatan-ikatan yang sebenarnya dapat ditanggalkan.
Bahasa bagi Whorf
pemandu realitas sosial. Walaupun bahasa biasanya tidak diminati oleh ilmuan
sosial, bahasa secara kuat mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah
masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak
hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat
ditentukan oleh bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan bagi
masyarakatnya. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas
yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai
dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata,
dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentang dunia dibentuk oleh bahasa
sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara
selektif individu menyaring sensori yang masuk seperti yang diprogramkan oleh
bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang
berbeda memiliki perbedaan sensori pula.
Rujukan:
Anonim1. 2011. Pemikiran Linguistik Edward Sapir. http.//travelogmunsyi.wordpress.com/2011/03/15/pemikiran-linguistik-Edward-Sapir/.
Diunduh pada tanggal 3 Maret 2012.
Arifuddin. 2010. Neorupsikolinguistik. Jakarta: Raha Grafindo Persada.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Mahmudah. 2012. Psikolinguistik:
Kajian Teoretik. Makassar: Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri
Makassar.
Widhiarso,
Wahyu. 2005. Pengaruh Bahasa terhadap
Pikiran. http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/files/hubungan_antara_bahasa_dan_pikiran.pdf.
Diunduh pada tanggal 3 Maret 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar