Laman

Jumat, 18 November 2011

Pragmatik


BATASAN DAN LATAR BELAKANG
(LANJUTAN)
A.     Keteraturan
Orang cenderung bertingkah laku dengan cara-cara yang teratur ketika harus menggunakan bahasa. Sebagian dari keteraturan ini berasal dari kenyataan bahwa manusia adalah anggota kelompok sosial dan mengikuti pola-pola tingkah laku umum yang diharapkan dalam kelompok itu. Di dalam suatu kelompok sosial yang akrab, biasanya kita akan mudah untuk berlaku sopan dan mengatakan sesuatu. Sebaliknya, di dalam suasana lingkungan sosial baru yang belum akrab, kadang-kadang kita tidak yakin tentang apa yang dikatakan dan kita khawatir jangan-jangan kita mengatakan sesuatu yang salah.   
Sumber keteraturan lain dalam penggunaan bahasa berasal dari kenyataan bahwa kebanyakan orang-orang di dalam suatu masyarakat linguistik memiliki pengalaman-pengalaman dasar yang sama tentang dunia dan saling memberikan banyak pengetahuan non-linguistik.
B.     Keranjang Sampah Pragmatik
Dengan menempatkan penemuan ciri-ciri bahasa yang abstrak, secara potensial universal, di atas tengah meja kerja mereka, para ahli bahasa dan filsafat bahasa cenderung untuk menyingkirkan catatan apa saja yang mereka temukan tentang pemakaian bahasa setiap hari ke tepian meja. Ketika meja-meja itu mulai penuh, banyak catatan-catatan tentang pemakaian bahasa umum itu mulai diturunkan dan berakhir di keranjang sampah. Isi keranjang sampah itu semula tidak ditata di bawah satu kategori tunggal. Isi tersebut didefinisikan secara negatif, sebagai bahan yang tidak dengan mudah ditangani dalam sistem-sistem analisis resmi. Akibatnya, untuk memahami sebagian bahan yang akan kita ambil dari keranjang sampah itu, kita harus betul-betul melihat bagaimana bahan itu berada di sana.
Pertimbangkan kalimat berikut;
(1)   The duck run up to Mary and licked her
(Itik itu mendekati Mary dan menyeruduknya)
Semantik berkenaan dengan kondisi nyata dari proposisi yang dinyatakan dalam kalimat. Proposisi ini biasanya berhubungan dengan arti harfiah dasar dari suatu klausa sederhana dan disajikan secara konvensional oleh huruf; p, q, dan r. Bolehlah dikatakan bahwa hubungan makna yang mendasari apa yang diungkapkan dalam ‘the duck ran up to Mary’ adalah proposisi p, dan dalam ‘the duck licked Mary’, hubungan makna yang mendasari adalah proposisi q. kedua proposisi ini digabungkan dengan simbol penghubung yang logis untuk kata hubung ‘&’ (disebut ‘ampersand). Jadi, penyajian proposisional dari (1) adalah seperti (2).
(2). p & q.
 Jika p betul dan q betul, maka p & q betul. Jika salah satu dari p atau q tidak betul (atau salah), maka kata penghubung p & q pasti salah. Tipe analisis ini digunakan secara intensif dalam semantik formal.
Perhatikan bahwa p & q dalam kasus khusus harus diungkapkan seperti (3)
(3)   The duck licked Mary and ran up to her.
(Itik itu menyeruduk Mary dan mendekatinya).
Dalam dunia pemakaian bahasa sehari-hari, pernyataan hubungan ini tidak identik dengan situasi nyata yang dijelaskan (1). Ada tata urutan dari dua kejadian yang sedang dijelaskan dan kita mengharapkan bahwa tata aturan, pada saat kejadian, dicerminkan dalam urutan penyebutan.
Jika p melibatkan beberapa tindakan  dan q melibatkan tindakan lain (beda), kita memiliki kecenderungan kuat untuk mengartikan kata penghubung “dan”, tidak selogis &, tetapi seperti ungkapan urutan ‘dan kemudian’. Mungkin kita mengemukakan bahwa ada prinsip penggunaan bahasa yang teratur seperti yang dapat dinyatakan (4).
(4)   Interpret order of mention as a reflection of order of occurance.
(urutan penyebutan sebagai cermin dari urutan kejadian).
Apa yang diungkapkan (4) bukan kaidah sintak atau semantik. Yang diungkapkan itu sama sekali bukan kaidah. Yang diungkapkan itu adalah suatu prinsip pragmatik yang sering kita pakai untuk memahami apa yang kita dengar dan baca, tetapi prinsip pragmatik itu bisa kita kesampingkan jika prinsip pragmatik itu tidak cocok dalam beberapa situasi.    
C.     Sejarah Perkembangan Pragmatik
Pragmatik telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika sejak tahun 1970-an. Morris (1938) dianggap sebagai peletak tonggaknya lewat pandangannya tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang: sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kemudian Halliday (1960) yang berusaha mengembangkan teori sosial mengenai bahasa yang memandang bahasa sebagai fenomena sosial.
Di Amerika, karya filsuf Austin (1962) dan muridnya Searle (1969, 1975), banyak mengilhami perkembangan pragmatik. Karya Austin yang dianggap sebagai perintis pragmatik berjudul How to Do Things with Words (1962). Dalam karya tersebut, Austin mengemukakan gagasannya mengenai tuturan performatif dan konstatif. Gagasan penting lainnya adalah tentang tindak lokusi, ilokusi, perlokusi, dan daya ilokusi tuturan.
Beberapa pemikir pragmatik lainnya, yaitu:
Searle (1969) mengembangkan pemikiran Austin. Ia mencetuskan teori tentang tindak tutur yang dianggap sangat penting dalam kajian pragmatik. Tindak tutur itu dikategorisasikan berdasarkan makna dan fungsinya menjadi lima macam, yaitu: representatif, direktif, ekspresif, komisih, dan deklaratif.
Grice (1975) mencetuskan teori tentang prinsip kerja sama (cooperative principle) dan implikatur percakapan (conversational implicature). Prinsip ini terdiri atas empat bidal: kuantitas, kualitas, relasi, dan cara. Menurut Gunarwan (1994: 54). Keenan (1976) menyimpulkan bahwa bidal kuantitas, yaitu “buatlah sumbangan Anda seinformatif-informatifnya sesuai dengan yang diperlukan”.
Goody (1978) menemukan bahwa pertanyaan tidak hanya terbatas digunakan untuk meminta informasi, melainkan juga untuk menyuruh, menandai hubungan antarpelaku percakapan, menyatakan dan mempertanyakan status.
Fraser (1978) telah melakukan deskripsi ulang tentang jenis tindak tutur. Gadzar (1979) membicarakan bidang pragmatik dengan tekanan pada tiga topik, yaitu: implikatur, praanggapan, dan bentuk logis.
Gumperz (1982) mengembangkan teori implikatur Grizer dalam bukunya Discourse Strategies. Ia berpendapat bahwa pelanggaran atas prinsip kerja sama seperti pelanggaran bidal kuantitas dan cara menyiratkan sesuatu yang tidak dikatakan. Sesuatu yang tidak diekspresikan itulah yang dinamakan implikatur percakapan. Levinson (1983) mengemukakan revisi sebagai uapaya penyempurnaan pendapat Grize tentang teori implikatur.
Leech (1983) mengemukakan gagasannya tentang prinsip kesantunan dengan kaidah yang dirumuskannya ke dalam enam bidal: ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian.
Mey (1993) mengemukakan gagasan baru tentang pembagian pragmatik: mikropragmatik dan makropragmatik. Schiffrin (1994) mambahas berbagai kemudian kajian wacana dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Yule (1996) mengembangkan teori tentang PKS dengan menghubungkannya dengan keberadaan tamengan (hedges) dan tuturan langsung-tuturan tak langsung.
van Dijk (1998-2000) mengembangkan model analisis wacana kritis (Critical Discourse Analyses/ CDA) di dalam teks berita. Ia mengidentifikasi adanya lima karakteristik yang harus dipertimbangkan di dalam CDA, yaitu: tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi.
Perkembangan Pragmatik di Indonesia
Istilah pragmatik secara nyata di Indonesia muncul pada 1984 ketika diberlakukannya Kurikulum Sekulah Menengah Atas tahun 1984. Dalam kurikulum ini pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan bidang studi bahasa Indonesia (Depdikbud, 1984).
Beberapa karya mengenai pragmatik mulai bermunculan. Diawali oleh Tarigan (1986) yang membahas tentang pragmatik secra umum. Nababan (1987) dan Suyono (1990) juga masih terkesan „memperkenalkan pragmatik“, sebab belum membahas pragmatik secara rinci dan luas. Pada karya Tallei (1988), Lubis (1993), dan Ibrahim (1993) tampak deskripsi yang agak mendalam, tetapi orisinalitas gagasanya agak diragukan karena, terutama pada karya Tallei, hampir sepenuhnya mengacu pada buku Discourse Analyses karya Stubbs (1983). Buku pragmatik pertama yang tergolong kritis adalah karya Bambang Kaswanti Purwo (1990) dengan judul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Karya Wijana (1996) yang berjudul Dasar-dasar Pragmatik sudah menuju ke arah pragmatik yang lebih lengkap dan mendalam.
Beberapa penelitian pun telah dilakukan dalam rangka disertasi, di antaranya adalah Kaswanti Purwo (1984), Rofiudin (1994), Gunarwan (1992-1995), Rustono (1998), dan terakhir Saifullah (2001) dalam tesis magisternya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar