Laman

Selasa, 21 Mei 2013

Uji Mental



Uji mental. Ya, hal itulah yang menjadi prinsip dalam sebuah ujian tatap muka, baik itu proposal, hasil penelitian, maupun skripsi. Dosen-dosen yang bertindak sebagai penguji saat seminar akan melontarkan berbagai jenis pertanyaan yang mampu membuat seluruh tulang penopang tubuh hancur tak bertenaga. Ya, itulah uji mental.
Tujuan diadakannya seminar (proposal) katanya adalah untuk mengetahui hal-hal yang harus diperbaiki oleh calon peneliti terhadap isi dari proposal penelitiannya, agar calon peneliti nantinya tidak tersesat, begitulah kira-kira kata ketua sidang kala itu (saat penulis mengikuti salah satu seminar proposal). Dengan dilaksanakannya seminar tersebut, pembimbing dan penguji, serta ketua sidang melaksanakan tugasnya, dengan di fasilitasi ruangan ber-AC dari pihak birokrasi, plus makanan ringan dan minuman dari para calon peneliti yang siap diuji.
Bagi peserta yang bertindak sebagai pendengar setia, ada dua alasan mengikuti seminar yakni ingin menambah pengetahuan dan ingin mengisi buku Bukti Mengikuti Seminar. Dan alasan kedua itulah yang paling banyak menarik minat mahasiswa lainnya untuk mengikuti seminar tersebut.
Berbeda dengan peserta seminar, para calon peneliti justru merasakan ketegangan yang luar biasa, kecuali mereka yang sudah siap lahir batin menghadapi segala macam bentuk kata yang akan melayang di atas kepalanya.
Pandangan yang banyak beredar di kalangan mahasiswa, seminar proposal selain menjadi bentuk ujian untuk memperbaiki proposal penelitian juga menjadi sarana uji mental. Dalam seminar tersebut calon peneliti akan diuji bagaimana ia mampu mempertahankan argumennya? Atau bagaimana calon peneliti mampu mempertanggungjawabkan isi dari proposalnya?
Para penguji layaknya penuntut umum dalam sebuah persidangan, pembimbing bertindak sebagai pembela, moderator sebagai ketua sidang, peserta seminar sebagai pendengar jalannya persidangan, dan calon peneliti adalah terdakwa yang siap diadili, adapun proposal penelitian adalah bentuk kasus yang diperbuat oleh terdakwa.   
Jika beruntung, terdakwa atau calon peneliti tersebut bisa saja mendapatkan situasi yang cukup tenang, aman, dan tidak membuat jantung seakan ingin lepas dari tempatnya karena malu. Namun, jika kurang beruntung calon peneliti akan mendapatkan situasi yang betul-betul canggung, hingga membuatnya tidak mampu mengeluarkan bahkan satu huruf pun dari mulutnya. Peluru kata-kata akan diluncurkan dari mulut penguji yang akan menghujam otak membuat seluruh memori pengetahuan tumpah.
Begitulah sedikit gambaran suasana seminar proposal yang hampir tiap hari dilaksanakan.
   

Senin, 20 Mei 2013

Berbagi Cerita



Kemarin saya membaca sebuah tulisan yang menyatakan bahwa menulis itu dimulai dari hal yang sederhana. Maka, hari ini saya akan menulis sebuah pengalaman yang baru sja saya dapatkan. 
Hari ini saya dan teman-teman mengikuti mata kuliah Belajar dan Pembelajaran. Dosen kami yang akrab disapa 'Ka Erwin' menayangkan sebuah video sebagai penutup pembelajaran hari ini. Video yang membuat air mata saya hampir menetes di pipi. Meski saya menyaksikannya dengan tertawa namun mata ini keluar dari kendali. Padahal maksud saya tertawa untuk menahan air mata ini keluar. Tapi, hal itu tidak berpengaruh pada mata ini. Mata ini mengeluarkan butir-butir air yang membuat saya tidak lagi sanggup untuk menengadahkan kepala saya.
Ya, video itu hanya beberapa menit, tapi mampu membuat seisi kelas terdiam menyaksikan dengan keharuan. Video tersebut berjudul Ayah, Anak, dan Burung. Saya akan sedikit menggambarkan isi video tersebut
Suatu hari seorang ayah dan anak duduk di taman depan rumah. Sang anak sedang membaca koran dan Sang ayah sedang memandangi sekitarnya. Tiba-tiba ada seekor burung yang hingga di salah satu tanaman di taman tersebut. Sang ayah pun bertanya "Apa itu?". Kemudian Si anak menjawab "Itu adalah burung pipit". Beberapa saat kemudian burung tersebut berpindah tempat sang ayah kembali bertanya pada anaknya dengan pertanyaan yang sama, si anak pun kembali menjawabnya. Tidak lama setelah itu, si ayah kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Sang anak pun menjawab dengan nada yang lebih tinggi dan mengeluarkan kata-kata yang sedikit kasar. Si ayah tetap diam dengan ekspresi orang tua pada umumnya yang mendapat perlakuan demikian oleh anaknya.
Setelah itu, sang ayah meninggalkan tempat duduknya, menuju ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, sang ayah kembali ke taman dan memperlihatkan sebuah buku catatan kepada anaknya. Perlahan ia membuka buku catatan itu dan menyuruh anaknya untuk membacanya keras-keras. sang anak pun mulai membaca isi dari buku catatan tersebut, yang kira-kira isinya seperti kalimat berikut "Suatu hari saya duduk bersama anak saya di taman seperti hari. 21 tahun lalu saya duduk di taman bersama anak saya yang masih berumur tiga tahun. Pada waktu itu, anak saya bertanya mengenai seekor burung sebanyak 21 kali, dan saya terus menjawabnya sebanyak 21 kali dengan sabar". Setelah membaca buku catatan tersebut sang anak memeluk ayahnya dengan rasa penyesalannya.
Dari video tersebut, dosen saya mengatakan agar kami selalu menghargai orang tua kami.
Hari ini, saya mendapat pelajaran dari sebuah video. Meski itu bukan hal yang baru, tapi mampu mengingatkan hal sepele yang telah kita lakukan pada orang tua kita. Mungkin bukan hanya saya, mungkin memang hal sepele, tapi sering kita abaikan untuk terus menghargai orang tua kita. Bagaimana pun tingginya pendidikan seseorang, tetap saja penghargaan kepada orang tua harus didahulukan.